A. Sekilas Sejarah Khilafah Bani Abbasiyah I
Setelah berakhirnya masa kekhalifahan Bani Umayyah, kepemimpinan kaum Muslimin dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah. Dinasti ini didirikan oleh Abul Abbas As Saffah tahun 132H/750 M di Kuffah. Nama Abbasiyah diambil dari nama buyut Abul Abbas yaitu Abbas bin Abdul Muthallib, salah seorang paman Nabi Muhammad.
Kekuasaan Khilafah Bani Abbasiyah dalam rentang waktu yang panjang selama 524 tahun, dari tahun 132-656 H atau 750-1258 M. Selama masa kekhalifahannya, pola pemerintahan yang ditetapkan berbeda-beda sesuai perubahan politik, sosial dan budaya yang ada. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode
Khalifah yang dianggap memiliki peran menonjol pada periode pertama adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya, antara lain
Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Ada kisah menarik tatkala Khalifah Harun mangirimkan jam dinding sebagai hadiah kepada Chalemagne, seorang penguasa Eropa. Jam tersebut setiap jamnya berdentang dan dikira oleh orang-orang eropa ada jinnya sehingga membuat mereka ketakutan. Philip K. Hitti mengatakan bahwa peradaban kaum muslimin dibawah pimpinan Harun al-Rasyid telah jauh melampaui peradaban kaum kristen dibawah pimpinan Chalemagne.
Kemudian kebijaksanaan Harun Al Rasyid dilanjutkan oleh putranya Al Makmun. Pelayanan kepada rakyat bersifat terbuka dan tidak membedakan kelas maupun agama. Didirikannya majlis ilmu yang disebut "Baitul Hikmah". Sementara itu juga wilayah kekuasasanya juga terbentang dari pesisir samudra Atlantik sampai dengan Tembok Besar Cina.
Pada masa khalfah Harun al-Rasyid, Al-Kharaj sempat menjadi panduan manual perpajakan. Al-Kharaj secara terminologis berasal dari kata "kharaj" yang secara lingustik berarti "keluar" atau "mengeluarkan dari tempatnya", sementara "kharj" atau "kharaj" dapat dimaknai dengan "apa yang dikeluarkan", atau kebalikan dari bahasa "upaya untuk mengeluarkan". Hal ini terinspirasi dari firman Allah SWT:
Artinya: ”Mereka berkata: "Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Makjuj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS.18:94)
Artinya: ”Atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik”. (QS.23:72.)
Al Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk negara. Pada bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi. Jika dilihat dari beberapa aspek penggarapannya yang melingkupi beberapa bentuk dari perpajakan yaitu pajak bumi, jizyah dan ushr, maka pengertian Kharaj dapat dikembangkan ke arah pengertian yang lebih luas, yaitu hasil karya ilmu ekonomi yang meliputi segala bentuk sumber kekayaan umum
Pada masanya kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (The Golden Ages of Islam).
B. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Para Fukaha pada Masa Khilafah Bani Abbasiyah I
Menurut catatan sejarah, tiga abad pertama pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah (Abad 8 sampai 11) sejarah menyaksikan kejayaan peradaban islam abad pertengahan. Menurut catatan Abdullah Musthafa al Maraghi, ada lebih dari 161 orang pakar dibidang fikih yang lahir dan hidup pada masa pemerintahan khilafah Bani Abbasiyah yang berkedudukan di Bagdad, Irak. Antara lain adalah:
1. Abu Yusuf (113 H)
Abu Yusuf dilahirkan di Kufah yang masih keturunan Ansor. Abu Yusuf berjasa dalam merumuskan fungsi "pure practical reason" dalam kaitannya dengan dunia ide, ilmu pengetahuan dan dunia empiris. Ia pernah menyandang gelar ahli hukum (Qodhi al-Qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia adalah murid sekaligus tangan kanan Hanafi (Mazhab Hanafian).
>Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi krisis nilai etis dan ekonomi yang tidak stabil yang seringkali memunculkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada kelompok kecil. Pos-pos perekonomian negara akan menjaga kestabilan ekonomi dan keberlangsungan sebuah kerajaan. Sedangkan pemerintah memerlukan income negara yang dipungut dari setoran pajak masyarakat. Jika ini terjadi, maka pendapatan dan pengeluaran negara menjadi tidak seimbang. Oleh karena itu kebijakan terhadap penarikan pajak sering terjadi tanpa adanya pertimbangan nilai-nilai etika moral dan asas keseimbangan. Di tengah kondisi seperti ini, di kalangan ulama lahirlah sikap untuk menjauhi kelompok penguasa dan berpihak kepada kelompok kecil dalam upaya menentang kebijakan penguasa yang sifatnya menindas.
Masalah besar yang dihadapi negara, dalam pandangan Abu Yusuf harus diselesaikan dengan upaya mengedepankan nilai keseimbangan antara output dan input, maka etika pemerintah dan moral masyarakat perlu dibenahi. Sebab kestabilan ekonomi hanya akan dapat dicapai bila komponen etika yang memuat beberapa sistem dalam pandangan Abu Yusuf mampu disosialisasikan di tengah individu dan masyarakat.
2. Yahya bin Adam al-Qarasyi (w. 203 H/818 M).
Kitab al-Kharaj dari Yahya bin Adam telah memperoleh perhatian dari para penulis saat ini. telah diterjemahkan ke bahasa inggris, namun kurang menaruh perhatian pada pemikiran ekonomi atau analisanya
3. Asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Imam Syafi’i hidup mulai dari Khalifah al-Mansyur (136 H/754 M). Imam Syafi’i menolak terhadap kebebasan menggunakan maslahah sebagai acuan dan pemikiran analogi demi kepentingan barang pribadi atau barang publik. Ia menekankan bahwa ketentuan yang didasarkan pada maslahah hanya berlaku apabila kepentingan publik yang relevan atau kegunaan pribadi itu dikenal secara ekplisit dalam Al Qur’an atau Sunnah atau melalui ijma’. Hal ini berbeda dengan posisi yang diambil oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan konsekuensinya yang berbeda terhadap transaksi tertentu.
4. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H/838 M).
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Mahdi (158 H/775 M). Kitab al-Amwal merupakan karya Ubaid yang lengkap tentang keuangan dalam negara Islam. Dimulai tentang bab singkat tentang “hak penguasa atas subjek dan hak subjek yang berhubungan dengan penguasa” dilanjutkan dengan bab tentang jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan basisnya dalam kitab Allah serta Sunnah.
Bab bab lain membahas pengumpulan dan pembayaran dari tiga jenis penerimaan yang diidentifikasi dalam bab kedua, yaitu: zakat (termasuk ushr), seperlima dari rampasan perang dan dari harta peninggalan/ terpendam dan fai’ yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya yang tidak masuk kategori pertama dan kedua, misalnya: penemuan yang hilang, kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris dan lain-lain. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Islam. Buku ini merupakan suatu ringkasan tradisi asli dari Nabi saw dan laporan dari para sahabat dan para pengikutnya tentang masalah ekonomi.
5. Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).
Imam Hanbali hidup dari masa Khalifah al-Mahdi (158 H/ 775 M0 sampai Khalifah al-Mutawakkil (232 H/847 M). Imam Hambali pernah dihukum cambuk dan dipenajara karena keteguhannya memegang keyakinan yang bertentangan dengan paham muktazilah (menganggap bahwa al-Quran adalah makhlik) yang merupakan paham pemerintah. Namun karena banyak pengikutnya, khalifah al-Mutawakkil (232 H847 M) membebaskannya dan menghapus pemaksaan paham muktazilah.
Imam Hambali lebih fleksibel dan realistik dalam menerima suatu pendirian yang menyangkut persoalan ekonomi yang selalu berubah. Catatan lain tentang Imam Hambali adalah pandangan yang melengkapi pendekatan islami untuk memelihara persaingan yang adil di pasar, Imam Hambali mencela pembelian dari seorang penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang membeli barang yang sama dari tetangganya (pesaing). Jika penurunan harga barang seperti ini dibiarkan akan menempatkan penjual yang menurunkan harga pada posisi monopoli yang dapat mendikte harga semaunya. Walaupun penurunan harga yang menyeluruh dapat menguntungkan orang, tetapi penguasa harus waspada dalam mengambil keputusan. Imam Hambali menghendaki hukum campur tangan dalam kasus semacam ini dalam rangka mencegah terjadinya monopoli dan praktek yang tidak diinginkan.
Imam Hambali cenderung memberikan kebebasan maksimum kontrak dalam usaha. Dengan semangat yang sama memperbolehkan persyaratan kontrak yang umumnya tidak dibolehkan aliran lain. Kebebasan yang dipandu oleh maslahah, dimana tidak ada panduan tertulis (al-Quran dan Hadist) menjadikan metodenya lebih mendukung untuk kepentingan yang lemah dan membutuhkan. Jadi, ia mengharuskan seorang pemilik rumah menyediakan naungan bagi orang yang tidak mempunyai tempat untuk istirahat.
6. Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H/859 M).
Harits bin Asad diperkirakan hidup pada masa Khalifah Harun ar-Rashid (170 H/786 M) sampai Khalifah al-Mutawakkil (232 H/ 847 M). Dalam makalah pendeknya tentang cara memperoleh pendapatan untuk suatu mata pencaharian, Ia mengatakan, “Seseorang yang kegiatannya dalam mencari suatu mata pencaharian adalah untuk membangun hak dan berhenti dari melanggar batas yang ditentukan oleh Allah Swt dalam menghormati kesalehan perdagangan dan industri serta kegiatan lainnya, orang seperti itu manaati Allah dan pantas mendapat penghargaan sebagai orang berpengetahuan.”
Ia kemudian mencatat bahwa suatu penarikan diri dari kegiatan ekonomi sebagaimana dianjurkan oleh orang yang tidak ada kaitannya dengan ajaran islam. Selanjutnya ia menekankan kebutuhan untuk menghindari semua laba dan upah yang menyangkut perbuatan yang tidak dikehendaki. Seseorang harus ikhlas dan terlibat dalam usaha dengan maksud untuk membantu Muslim lainnya.al-Muhasibi menyerang dengan keras pedagang di zamannya yang berprilaku: “Sebagai mereka yang tidak percaya pada hari pengadilan dan terlibat dalam kegiatan melanggar hukum.”
7. Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M).
Junaid al-Baghdadi diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Mutawakkil (232 H/ 847 M) sampai Khalifah al-Muqtadir (295 H/ 908 M). Ia menghabiskan sebagian hartanya untuk teman-teman sufinya yang miskin. Baginya inti tasawuf adalah ”untuk membuang motivasi kepentingan diri sendiri, melatih kualitas spiritual, mengabdikan diri pada pengetahuan yang benar, melakukan apa yang terbaik dalam hubungan dengan keabadian, mengharapkan kebajikan untuk seluruh masyarakat, menjadi benar-benar beriman kepada Allah dan mengikuti Nabi dalam hal syariah.”
8. Qudamah bin Ja’far (w. 337 H/948 M).
Qudamah bin Jafar diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Mu’tamid (256 H/870 M) sampai Khalifah al-Muthi’ (334 H/946 M). Kitab al-Kharaj-nya telah diterjemahkan ke bahasa inggris, tetapi tidak ada analis yang ditulis dari sisi ekonominya yang kaya.
9. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M).
Ibnu Miskawaih diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Muthi’ (334 H/946 M) sampai Khalifah al-Qadir (381 H/991 M). Karya Ibnu Miskawaih tentang filosofi etik adalah suatu upaya memadukan pandangan Aristoteles tentang subjek yang sama dengan ajaran islam.. Dalam pertukaran dan peranan uang, Ia mengamati bahwa, ”Manusia secara alami adalah sosial. Mereka tidak dapat hidup tanpa kerjasama. Oleh karena itu, mereka harus membantu satu sama lain. Mereka saling mengambil dan saling memberi: jadi mereka menuntut kompensasi yang pantas. Jika tujkang sepatu memakai jasa tukang cat dan ia memberikan jasanya sendiri, ini akan menjadi ganjaran jika kedua karya seimbang. Tetapi tidak ada penghalang karya seseorang lebih baik dari karya lainnya. Dalam hal ini dinar akan menjadi suatu penilai dan penyeimbang diantara keduanya.”
Ia cukup bijaksana dengan menyadari bahwa mengukur dengan ukuran uang tidaklah sempurna. Maka, menjadi penting bagi penguasa untuk melakukan intervensi dengan alasan untuk menjamin keadilan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Ibnu Miskawih juga menguraikan urusan uang dalam makalahnya yang subjeknya keadilan. Ia melihat bahwa emas menjadi dapat diterima secara universal atau dengan kalimatnya sendiri: ”Standar untuk semua jenis pekerjaan dan lapangan kerja dan penggantinya untuk kesemuanya” melalui konversi. Konversi ini memiliki alasan dibalik itu, yaitu kwalitas hakiki dari suatu logam tertentu: tahan lama, mudah dibawa, tidak dapat dikorup, dikehendaki orang dan kenyataan bahwa orang senang melihatnya. ”Dan bahwa ia menukarkan segalanya untuk emas dan disimpannya ditempat mereka dan menjadi pengganti (substitute) untuk semuanya, ia melakukan hal yang baik, karena ia dapat setiap saat diperlukan, apapun yang ia perlukan melalui emas itu.”
10. Abu Ja’far ad-Dawudi (w. 402 H/ 1013 M).
Abu Ja’far ad-Dawudi diperkirakan hidup pada masa Khalifah ath-Tha’I (363 H/974 M) sampai Khalifah al-Qadir (381 H/991 M). Ad-Dawudi adalah penulis lain dari kitab al-Amwal.
11. Mawardi (364 – 450 H/974 – 1075 M).
Mawardi hidup pada masa Khalifah ath-Tha’i (363 H/974 M) sampai Khalifah al-Qa’im (442 H/1031 M). Buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah dari Mawardi adalah suatu makalah tentang pemerintahan dan administrasi yang berurusan dengan kewajiban penguasa, penerimaan dan pengeluaran publik, tanah publik, tanah umum dan prerogatif negara untuk menghibahkan tanah dan mengawasi pasar. Adalah kewajiban dari muhtasib, yang fungsinya mencakup pengawasan atas pasar, untuk menjamin kebenaran timbangan dan ukuran, mencegah penyimpangan dan melihat bahwa ketentuan syariah yang berkaitan dengan transaksi diikuti oleh pedagang dan pengrajin.
Kitab Adubud Din wad-Dunya, kaya dengan pandangan ekonomi karena memusatkan pada perilaku individu muslim. Bukunya membawa suatu kesan yang kuat dari karya ahli tasawwuf. Dalam buku ini ia membahas pertanian, peternakan hewan, perdagangan dan industri sebagai empat cara untuk mata pencaharian. Kemudian ia membahas tentang pendekatan yang mungkin untuk memperoleh penghasilan. Tidak mengapa seseorang memperoleh penghasilan melebihi kebutuhannya, dengan maksud dibelanjakan untuk alasan yang baik. Tapi memperoleh uang demi untuk uang dan dalam rangka menimbun kekayaan dan atas dasar itu menuntut kekuasaan adalah buruk. Sederhananya tidak berakhir untuk ketamakan yang merusak semua budi luhur.
Mawardi juga meninggalkan suatu karya besar fikih, yaitu al-Hawi, suatu bagian buku ini telah diterbitkan dengan judul al-Mudharabah. Ini adalah suatu perbandingan terhadap berbagai aliran hukum Islam tentang subjek bagi hasil. Masalah yang menarik adalah pemilik suatu barang modal mengikat kontrak dengan seorang pengusaha yang hendak menggunakan barang modal tersebut untuk kegiatan yang produktif, dimana hasilnya dibagi dua. Mawardi tidak membolehkan hal ini, diikuti oleh mayoritas jurist. Namun beberapa jurist dari mahzab Hanbali, membolehkan mudharabah seperti ini, dan pendapat ini nampaknya lebih cocok untuk menjawab kebutuhan pada masa sekarang.
12. Ibnu Hazm (384 – 456 H/994 – 1064 M).
Ibnu Hazm hidup pada masa Khalifah al-Qadir (381 H/991 M) sampai Khalifah al-Qa’im (422 H/1033 M). Ilmu Hazm adalah seorang jurist yang besar dengan pendekatan yang unik terhadap hukum Islam dimana ia menolak pemikiran analogi seperti halnya istihsan. Ia mempunyai pandangan yang jelas tentang tanggung jawab kolektif dalam masyarakat Islam.
Rata PenuhIbnu Hazm mempunyai pandangan tentang menghapuskan kemiskinan dan memelihara keadilan sosial serta kewajiban pemerintah Islam dalam hubungan ini. Pandangan tentang hak orang tak punya atas kekayaan dari yang punya juga dihargai.
Ibnu Hazm merupakan satu-satunya jurist besar yang melarang menyewakan tanah pertanian sehingga pemilik tanah mempunyai dua pilihan, yaitu menggarap sendiri tanahnya atau memasuki suatu perjanjian bagi hasil tanah dengan penggarapnya.
13. Nizamul Mulk at-Tusi (408 – 485 H/1018 – 1093 M).
Nizamul Mulk at-Tusi hidup pada masa Khalifah al-Qadir (381 H/991 M) sampai Khalifah al-Muqtadi (467 H/1075 M). Sebagai perdana Mentrei yang penting untuk 30 tahun selama dinasti Saljuk Turki (447 H/1055 M), ia mempunyai pengetahuan tentang semua persoalan administrasi terutama yang berkaitan dengan tanah.
Kebujaksanaan yang tentang tanah dijelaskan dalam kitabnya Siasat Nameh, menampilkan sebuah gambaran yang seluruhnya berbeda dengan feodalisme Eropa. Menurut at-Tusi, adalah penguasa dan bukan tuan tanah yang menguasai tanah. At-Tausi nampaknya merasionalkan prektek feodal kuno di Persia yang menyangkut hak dari penguasa. Ia merekomendasikan pembatalan dari pembebanan oleh tuan tanah yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Tuan tanah dalam pandangannya hanyalah sebagai pengumpul pajak, mereka bahkan tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena merupakan hak mutlak pemerintah. Ia ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak tuan tanah dan menjadikan pemerintah lebih berkuasa.
14. Al-Sarakhsi (w. 483 H/ 1090 M).
Syamsudin Al-Sarakhsi diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Qadir (381 H/991 M) sampai Khalifah al-Muqtadi (467 H/1075 M). Ia adalah seorang jurist terkemuka dari aliran Hanbali yang karya besarnya, al-Mabsut terkenal karena wawasan analitisnya pada bagi hasil dan sifat dari keuntungan itu sendiri. Sayang, sejauh ini karyanya belum ditelusuri untuk keperluan analisi dan gagasan ekonominya.
15. Al-Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Al-Ghazali hidup pada masa Khalifah al-Qa’im (422 H/1031 M) sampai Khalifah al-Mustazhhir (487 H/1094 M). Karya-karyanya Ihya’ Ulumuddin, usul fikih, al-Mushtafa dan dua makalahnya lainnya, Mizanul A’mal dan at-Tibr al-masbuq fi Nasihatil Muluk, adalah sumber utama dari pemikiran ekonominya.
Kepedulian utama al-Ghazali adalah perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan mengingat al-Quran, sunah, laporan yang berkaitan dengan para Sahabat Nabi dan mereka yang menggantikannya, juga ucapan para sufi utama periode yang lalu, separti: Junaid, Bishr, Zun Nun al-Haritz al-Muhasibi. Ada suatu penekanan yang besar pada maksud baik dan perbuatan yang disengaja. Jadi, seseorang pedagang harus lebih baik ”mengarahkan keahlian atau daganganya pada pemenuhan salah satu dari tanggung jawab sosialnya.”
Seorang individu harus menghasilkan tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang dibutuhkannya untuk makan, pakaian dan perumahan. Daftar kebutuhan dasar ini telah diperluas untuk menutupi kebutuhan perabot rumah tangga yang penting, perkawinan dan membesarkan keluarga serta sedikit tanah milik. Tetapi, ia tidak terlalu murah hati dalam mendefinisikan standar untuk kebutuhan yang harus dipenuhi. Standar-standar mana ia mengacu adalah yang berkaitan dengan kehidupan nabi,para sahabat dan mereka yang menggantikannya, sesuai dengan yang ia pahami. Tidak terfikirkan olehnya bahwa masyarakatnya sendiri, anugerah alam, dan rata-rata standar pakaian, rumah dan lain-lain, relevan dengan bahasannya. Bahkan dalil dari penghasilan dan simpanan untuk memberikan derma tidak disenangi, walaupun khalifah Ali dilaporkan telah mengatakan, ”jika seseorang mempunyai semua kekayaan di dunia untuk dibelanjakan di jalan Allah, ia akan tetap menjadi seorang zahid.” Sedang mengenai penghasilan dan simpanan dengan motif duniawi, ia memastikan: ”Seseorang yang memiliki kekayaan duniawi melebihi yang ia butuhkan dan menimbunnya untuk diri sendiri di mana ia berada di antara ummat Allah yang memerlukan kekayaan itu, orang semacam itu adalah seorang penindas.ia berada di antara mereka yang menimbun emas dan perak.” Ia cepat menambahkan, namun demikian, ini bukanlah suatu ketentuan yang legal karena sulitnya menghitung kebutuhan individu secara objektif.
Norma-norma al-Ghazali mungkin berhubungan dengan beberapa cita-cita sufi kepada generasinya sendiri, sebagaimana juga cita-citanya kepada generasi muslim setelah dia yang diperkaya dengan ihya’-nya bahkan hingga hari ini sebagai suatu ringkasan ajaran islam. Tetapi, nampaknya mereka telah mempunyai sedikit pengaruh pada kehidupan di dalam pengadilan istana. Ia berada di dasar pasti,ketika ia memberikan nasehat kepada pengusaha untuk melaksanakan tugas terhadap subjeknya, memenuhi kebutuhan mereka dan menghentikan praktek korupsi seperti: memungut pajak tidak didukung oleh syariat. Ketika rakyat mengalami kekurangan dan tidak ada jalan untuk mendapatkan penghasilan untuk hidupnya, adalah kewajiban penguasa untuk menolong dengan menyediakan mereka makanan dan uang yang diperlukan dari bendahara publik. Mengenai pajak yang melewati dan di atas yang ditetapkan syariat,ia hanya akan mengizinkan jika pengeluaran untuk pertahanan dan lain-lain, tidak dipenuhi dari penerimaan normal. Dalam kasus inilah pinjaman oleh negara juga diperbolehkan.
Wawasan analisis Ghazali telah juga memperkaya evolusi ekonomi islami tentang uang dan memerhatikan bagaimana masyarakat sipil telah diorganisir tanpa perlu. Kontribusi yang tinggi mengingatkan kepada para philosophers sampai kepada ibnu Miskawaih, al-Ghazali memberikan beberapa tambahan wawasan. ia mencoba menerangkan dilarangnya riba al-fadl dengan alasan bahwa riba al-fadl itu melanggar sifat dan fungsi uang, dia juga mengutuk penimbunan uang, dengan dasar uang itu dilarancang untuk memudahkan pertukaran, dimana penimbunan menghalangi proses ini.
16. Nasiruddin at-Tusi (597-672 H/1201-1274 M)
Nasiruddin at-Tusi hidup pada masa Daulah Abbasiyah I dari zaman Khalifah an-Nashir (575 H/ 1180 M) sampai Daulah Abbasiyah II pada masa Khalifah al-Hakim (660 H/ 1262 M). Nasiruddin at-Tusi dihargai karena risalahnya tentang keuangan negara. Ia merekomendasikan pengurangan beban pajak dan menentang semua pajak yang tidak secara eksplisit ditentukan oleh syariah. Ia menekankan pentingnya pertanian dan menganggap perdagangan dan kegiatan lain sebagai kepentingan nomor dua. Risalahnya juga membahas perilaku ekonomi dari individu. Ia menekankan pentingnya simpanan dan menyarankan agar pengeluaran tidak digunakan untuk perhiasan dan tanah yang tidak digarap. At-Tusi juga membahas tentang pembagian kerja dan kesejahteraan umum. At-Tusi mengecam keras kegiatan konsumsi yang berlebihan dan penekanannya kepada simpanan dikemukakan juga pada risalahnya. At-Tusi menghendaki penguasa Mongol untuk merealisasikan bahwa pertanian adalah fondasi untuk keseluruhan perekonomian dan kemakmuran yang dibutuhkan sehingga keberadaan manusia dapat dijamin.
C. Berakhirnya Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah I
1. Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional
Namun, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, waktu itu tidak ada kesadaran merajut elemen yang bermacam-macam tersebut. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan: "Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa AS., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga".
4. Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol.
Pada situasi inilah, tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulaghu Khan, cucu Jenghis Khan menyerang Baghdad. Akhirnya Baghdad dapat ditaklukkan. Setelah itu, datang serangan kembali yang tak kalah dasyat dari keturunan Mongol yang dipimpin oleh Timur Lenk, seorang keturunan Karachar yang menjadi menteri pada masa pemerintahan Jagatai outra Jebghis Khan. Demikianlah, dengan jatuhnya Baghdad ke tangan tentara Mongol bukan saja mengakhiri masa pemerintahan khilafah Abbasiyah I yang berkuasa selama 508 tahun, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam.
Namun, dengan kehendak-Nya, roda sejarah pun bergulir kembali. Setelah dua tahun dikuasai bangsa Mongol dengan berbagai peristiwa yang menyertainya, kaum muslimin dapat memperoleh kekhalifahannya kembali. Bani Abbasiyah melanjutkan kembali kekhalifahannya yang disebut dengan Periode Abbasiyah II dengan Khalifah pertama al-Mustansyir pada tahun 659 H/1261 M).
D. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas As Saffah tahun 132H/750 M di Kuffah, kekuasaan Khilafah Bani Abbasiyah dalam rentang waktu yang panjang selama 524 tahun, dari tahun 132-656 H atau 750-1258 M. Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M), dimana wilayah kekuasasanya terbentang dari pesisir samudra Atlantik sampai dengan Tembok Besar Cina.
Masa ini ditandai dengan banyaknya pemikir ekonomi islam, mereka antara lain
Setelah berakhirnya masa kekhalifahan Bani Umayyah, kepemimpinan kaum Muslimin dilanjutkan oleh Bani Abbasiyah. Dinasti ini didirikan oleh Abul Abbas As Saffah tahun 132H/750 M di Kuffah. Nama Abbasiyah diambil dari nama buyut Abul Abbas yaitu Abbas bin Abdul Muthallib, salah seorang paman Nabi Muhammad.
Kekuasaan Khilafah Bani Abbasiyah dalam rentang waktu yang panjang selama 524 tahun, dari tahun 132-656 H atau 750-1258 M. Selama masa kekhalifahannya, pola pemerintahan yang ditetapkan berbeda-beda sesuai perubahan politik, sosial dan budaya yang ada. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode
- Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
- Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.
Khalifah yang dianggap memiliki peran menonjol pada periode pertama adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya, antara lain
- Mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
- Di bidang pemerintahan, menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia.
- Membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata
- Menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
- Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat.
- Jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah
Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi. Ada kisah menarik tatkala Khalifah Harun mangirimkan jam dinding sebagai hadiah kepada Chalemagne, seorang penguasa Eropa. Jam tersebut setiap jamnya berdentang dan dikira oleh orang-orang eropa ada jinnya sehingga membuat mereka ketakutan. Philip K. Hitti mengatakan bahwa peradaban kaum muslimin dibawah pimpinan Harun al-Rasyid telah jauh melampaui peradaban kaum kristen dibawah pimpinan Chalemagne.
Kemudian kebijaksanaan Harun Al Rasyid dilanjutkan oleh putranya Al Makmun. Pelayanan kepada rakyat bersifat terbuka dan tidak membedakan kelas maupun agama. Didirikannya majlis ilmu yang disebut "Baitul Hikmah". Sementara itu juga wilayah kekuasasanya juga terbentang dari pesisir samudra Atlantik sampai dengan Tembok Besar Cina.
Pada masa khalfah Harun al-Rasyid, Al-Kharaj sempat menjadi panduan manual perpajakan. Al-Kharaj secara terminologis berasal dari kata "kharaj" yang secara lingustik berarti "keluar" atau "mengeluarkan dari tempatnya", sementara "kharj" atau "kharaj" dapat dimaknai dengan "apa yang dikeluarkan", atau kebalikan dari bahasa "upaya untuk mengeluarkan". Hal ini terinspirasi dari firman Allah SWT:
Artinya: ”Mereka berkata: "Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Makjuj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?" (QS.18:94)
Artinya: ”Atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezeki Yang Paling Baik”. (QS.23:72.)
Al Kharaj dapat diartikan sebagai harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk negara. Pada bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi. Jika dilihat dari beberapa aspek penggarapannya yang melingkupi beberapa bentuk dari perpajakan yaitu pajak bumi, jizyah dan ushr, maka pengertian Kharaj dapat dikembangkan ke arah pengertian yang lebih luas, yaitu hasil karya ilmu ekonomi yang meliputi segala bentuk sumber kekayaan umum
Pada masanya kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi (The Golden Ages of Islam).
B. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Para Fukaha pada Masa Khilafah Bani Abbasiyah I
Menurut catatan sejarah, tiga abad pertama pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah (Abad 8 sampai 11) sejarah menyaksikan kejayaan peradaban islam abad pertengahan. Menurut catatan Abdullah Musthafa al Maraghi, ada lebih dari 161 orang pakar dibidang fikih yang lahir dan hidup pada masa pemerintahan khilafah Bani Abbasiyah yang berkedudukan di Bagdad, Irak. Antara lain adalah:
1. Abu Yusuf (113 H)
Abu Yusuf dilahirkan di Kufah yang masih keturunan Ansor. Abu Yusuf berjasa dalam merumuskan fungsi "pure practical reason" dalam kaitannya dengan dunia ide, ilmu pengetahuan dan dunia empiris. Ia pernah menyandang gelar ahli hukum (Qodhi al-Qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia adalah murid sekaligus tangan kanan Hanafi (Mazhab Hanafian).
>Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid terjadi krisis nilai etis dan ekonomi yang tidak stabil yang seringkali memunculkan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada kelompok kecil. Pos-pos perekonomian negara akan menjaga kestabilan ekonomi dan keberlangsungan sebuah kerajaan. Sedangkan pemerintah memerlukan income negara yang dipungut dari setoran pajak masyarakat. Jika ini terjadi, maka pendapatan dan pengeluaran negara menjadi tidak seimbang. Oleh karena itu kebijakan terhadap penarikan pajak sering terjadi tanpa adanya pertimbangan nilai-nilai etika moral dan asas keseimbangan. Di tengah kondisi seperti ini, di kalangan ulama lahirlah sikap untuk menjauhi kelompok penguasa dan berpihak kepada kelompok kecil dalam upaya menentang kebijakan penguasa yang sifatnya menindas.
Masalah besar yang dihadapi negara, dalam pandangan Abu Yusuf harus diselesaikan dengan upaya mengedepankan nilai keseimbangan antara output dan input, maka etika pemerintah dan moral masyarakat perlu dibenahi. Sebab kestabilan ekonomi hanya akan dapat dicapai bila komponen etika yang memuat beberapa sistem dalam pandangan Abu Yusuf mampu disosialisasikan di tengah individu dan masyarakat.
2. Yahya bin Adam al-Qarasyi (w. 203 H/818 M).
Kitab al-Kharaj dari Yahya bin Adam telah memperoleh perhatian dari para penulis saat ini. telah diterjemahkan ke bahasa inggris, namun kurang menaruh perhatian pada pemikiran ekonomi atau analisanya
3. Asy-Syafi’i (150-204 H/767-820 M).
Imam Syafi’i hidup mulai dari Khalifah al-Mansyur (136 H/754 M). Imam Syafi’i menolak terhadap kebebasan menggunakan maslahah sebagai acuan dan pemikiran analogi demi kepentingan barang pribadi atau barang publik. Ia menekankan bahwa ketentuan yang didasarkan pada maslahah hanya berlaku apabila kepentingan publik yang relevan atau kegunaan pribadi itu dikenal secara ekplisit dalam Al Qur’an atau Sunnah atau melalui ijma’. Hal ini berbeda dengan posisi yang diambil oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal dengan konsekuensinya yang berbeda terhadap transaksi tertentu.
4. Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H/838 M).
Abu Ubaid al-Qasim bin Salam diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Mahdi (158 H/775 M). Kitab al-Amwal merupakan karya Ubaid yang lengkap tentang keuangan dalam negara Islam. Dimulai tentang bab singkat tentang “hak penguasa atas subjek dan hak subjek yang berhubungan dengan penguasa” dilanjutkan dengan bab tentang jenis harta yang dikelola penguasa untuk kepentingan subjek dan basisnya dalam kitab Allah serta Sunnah.
Bab bab lain membahas pengumpulan dan pembayaran dari tiga jenis penerimaan yang diidentifikasi dalam bab kedua, yaitu: zakat (termasuk ushr), seperlima dari rampasan perang dan dari harta peninggalan/ terpendam dan fai’ yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya yang tidak masuk kategori pertama dan kedua, misalnya: penemuan yang hilang, kekayaan yang ditinggalkan tanpa ahli waris dan lain-lain. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Islam. Buku ini merupakan suatu ringkasan tradisi asli dari Nabi saw dan laporan dari para sahabat dan para pengikutnya tentang masalah ekonomi.
5. Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M).
Imam Hanbali hidup dari masa Khalifah al-Mahdi (158 H/ 775 M0 sampai Khalifah al-Mutawakkil (232 H/847 M). Imam Hambali pernah dihukum cambuk dan dipenajara karena keteguhannya memegang keyakinan yang bertentangan dengan paham muktazilah (menganggap bahwa al-Quran adalah makhlik) yang merupakan paham pemerintah. Namun karena banyak pengikutnya, khalifah al-Mutawakkil (232 H847 M) membebaskannya dan menghapus pemaksaan paham muktazilah.
Imam Hambali lebih fleksibel dan realistik dalam menerima suatu pendirian yang menyangkut persoalan ekonomi yang selalu berubah. Catatan lain tentang Imam Hambali adalah pandangan yang melengkapi pendekatan islami untuk memelihara persaingan yang adil di pasar, Imam Hambali mencela pembelian dari seorang penjual yang menurunkan harga barang untuk mencegah orang membeli barang yang sama dari tetangganya (pesaing). Jika penurunan harga barang seperti ini dibiarkan akan menempatkan penjual yang menurunkan harga pada posisi monopoli yang dapat mendikte harga semaunya. Walaupun penurunan harga yang menyeluruh dapat menguntungkan orang, tetapi penguasa harus waspada dalam mengambil keputusan. Imam Hambali menghendaki hukum campur tangan dalam kasus semacam ini dalam rangka mencegah terjadinya monopoli dan praktek yang tidak diinginkan.
Imam Hambali cenderung memberikan kebebasan maksimum kontrak dalam usaha. Dengan semangat yang sama memperbolehkan persyaratan kontrak yang umumnya tidak dibolehkan aliran lain. Kebebasan yang dipandu oleh maslahah, dimana tidak ada panduan tertulis (al-Quran dan Hadist) menjadikan metodenya lebih mendukung untuk kepentingan yang lemah dan membutuhkan. Jadi, ia mengharuskan seorang pemilik rumah menyediakan naungan bagi orang yang tidak mempunyai tempat untuk istirahat.
6. Harits bin Asad al-Muhasibi (w. 243 H/859 M).
Harits bin Asad diperkirakan hidup pada masa Khalifah Harun ar-Rashid (170 H/786 M) sampai Khalifah al-Mutawakkil (232 H/ 847 M). Dalam makalah pendeknya tentang cara memperoleh pendapatan untuk suatu mata pencaharian, Ia mengatakan, “Seseorang yang kegiatannya dalam mencari suatu mata pencaharian adalah untuk membangun hak dan berhenti dari melanggar batas yang ditentukan oleh Allah Swt dalam menghormati kesalehan perdagangan dan industri serta kegiatan lainnya, orang seperti itu manaati Allah dan pantas mendapat penghargaan sebagai orang berpengetahuan.”
Ia kemudian mencatat bahwa suatu penarikan diri dari kegiatan ekonomi sebagaimana dianjurkan oleh orang yang tidak ada kaitannya dengan ajaran islam. Selanjutnya ia menekankan kebutuhan untuk menghindari semua laba dan upah yang menyangkut perbuatan yang tidak dikehendaki. Seseorang harus ikhlas dan terlibat dalam usaha dengan maksud untuk membantu Muslim lainnya.al-Muhasibi menyerang dengan keras pedagang di zamannya yang berprilaku: “Sebagai mereka yang tidak percaya pada hari pengadilan dan terlibat dalam kegiatan melanggar hukum.”
7. Junaid al-Baghdadi (w. 297 H/910 M).
Junaid al-Baghdadi diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Mutawakkil (232 H/ 847 M) sampai Khalifah al-Muqtadir (295 H/ 908 M). Ia menghabiskan sebagian hartanya untuk teman-teman sufinya yang miskin. Baginya inti tasawuf adalah ”untuk membuang motivasi kepentingan diri sendiri, melatih kualitas spiritual, mengabdikan diri pada pengetahuan yang benar, melakukan apa yang terbaik dalam hubungan dengan keabadian, mengharapkan kebajikan untuk seluruh masyarakat, menjadi benar-benar beriman kepada Allah dan mengikuti Nabi dalam hal syariah.”
8. Qudamah bin Ja’far (w. 337 H/948 M).
Qudamah bin Jafar diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Mu’tamid (256 H/870 M) sampai Khalifah al-Muthi’ (334 H/946 M). Kitab al-Kharaj-nya telah diterjemahkan ke bahasa inggris, tetapi tidak ada analis yang ditulis dari sisi ekonominya yang kaya.
9. Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M).
Ibnu Miskawaih diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Muthi’ (334 H/946 M) sampai Khalifah al-Qadir (381 H/991 M). Karya Ibnu Miskawaih tentang filosofi etik adalah suatu upaya memadukan pandangan Aristoteles tentang subjek yang sama dengan ajaran islam.. Dalam pertukaran dan peranan uang, Ia mengamati bahwa, ”Manusia secara alami adalah sosial. Mereka tidak dapat hidup tanpa kerjasama. Oleh karena itu, mereka harus membantu satu sama lain. Mereka saling mengambil dan saling memberi: jadi mereka menuntut kompensasi yang pantas. Jika tujkang sepatu memakai jasa tukang cat dan ia memberikan jasanya sendiri, ini akan menjadi ganjaran jika kedua karya seimbang. Tetapi tidak ada penghalang karya seseorang lebih baik dari karya lainnya. Dalam hal ini dinar akan menjadi suatu penilai dan penyeimbang diantara keduanya.”
Ia cukup bijaksana dengan menyadari bahwa mengukur dengan ukuran uang tidaklah sempurna. Maka, menjadi penting bagi penguasa untuk melakukan intervensi dengan alasan untuk menjamin keadilan antara pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Ibnu Miskawih juga menguraikan urusan uang dalam makalahnya yang subjeknya keadilan. Ia melihat bahwa emas menjadi dapat diterima secara universal atau dengan kalimatnya sendiri: ”Standar untuk semua jenis pekerjaan dan lapangan kerja dan penggantinya untuk kesemuanya” melalui konversi. Konversi ini memiliki alasan dibalik itu, yaitu kwalitas hakiki dari suatu logam tertentu: tahan lama, mudah dibawa, tidak dapat dikorup, dikehendaki orang dan kenyataan bahwa orang senang melihatnya. ”Dan bahwa ia menukarkan segalanya untuk emas dan disimpannya ditempat mereka dan menjadi pengganti (substitute) untuk semuanya, ia melakukan hal yang baik, karena ia dapat setiap saat diperlukan, apapun yang ia perlukan melalui emas itu.”
10. Abu Ja’far ad-Dawudi (w. 402 H/ 1013 M).
Abu Ja’far ad-Dawudi diperkirakan hidup pada masa Khalifah ath-Tha’I (363 H/974 M) sampai Khalifah al-Qadir (381 H/991 M). Ad-Dawudi adalah penulis lain dari kitab al-Amwal.
11. Mawardi (364 – 450 H/974 – 1075 M).
Mawardi hidup pada masa Khalifah ath-Tha’i (363 H/974 M) sampai Khalifah al-Qa’im (442 H/1031 M). Buku al-Ahkam as-Sulthaniyyah dari Mawardi adalah suatu makalah tentang pemerintahan dan administrasi yang berurusan dengan kewajiban penguasa, penerimaan dan pengeluaran publik, tanah publik, tanah umum dan prerogatif negara untuk menghibahkan tanah dan mengawasi pasar. Adalah kewajiban dari muhtasib, yang fungsinya mencakup pengawasan atas pasar, untuk menjamin kebenaran timbangan dan ukuran, mencegah penyimpangan dan melihat bahwa ketentuan syariah yang berkaitan dengan transaksi diikuti oleh pedagang dan pengrajin.
Kitab Adubud Din wad-Dunya, kaya dengan pandangan ekonomi karena memusatkan pada perilaku individu muslim. Bukunya membawa suatu kesan yang kuat dari karya ahli tasawwuf. Dalam buku ini ia membahas pertanian, peternakan hewan, perdagangan dan industri sebagai empat cara untuk mata pencaharian. Kemudian ia membahas tentang pendekatan yang mungkin untuk memperoleh penghasilan. Tidak mengapa seseorang memperoleh penghasilan melebihi kebutuhannya, dengan maksud dibelanjakan untuk alasan yang baik. Tapi memperoleh uang demi untuk uang dan dalam rangka menimbun kekayaan dan atas dasar itu menuntut kekuasaan adalah buruk. Sederhananya tidak berakhir untuk ketamakan yang merusak semua budi luhur.
Mawardi juga meninggalkan suatu karya besar fikih, yaitu al-Hawi, suatu bagian buku ini telah diterbitkan dengan judul al-Mudharabah. Ini adalah suatu perbandingan terhadap berbagai aliran hukum Islam tentang subjek bagi hasil. Masalah yang menarik adalah pemilik suatu barang modal mengikat kontrak dengan seorang pengusaha yang hendak menggunakan barang modal tersebut untuk kegiatan yang produktif, dimana hasilnya dibagi dua. Mawardi tidak membolehkan hal ini, diikuti oleh mayoritas jurist. Namun beberapa jurist dari mahzab Hanbali, membolehkan mudharabah seperti ini, dan pendapat ini nampaknya lebih cocok untuk menjawab kebutuhan pada masa sekarang.
12. Ibnu Hazm (384 – 456 H/994 – 1064 M).
Ibnu Hazm hidup pada masa Khalifah al-Qadir (381 H/991 M) sampai Khalifah al-Qa’im (422 H/1033 M). Ilmu Hazm adalah seorang jurist yang besar dengan pendekatan yang unik terhadap hukum Islam dimana ia menolak pemikiran analogi seperti halnya istihsan. Ia mempunyai pandangan yang jelas tentang tanggung jawab kolektif dalam masyarakat Islam.
Rata PenuhIbnu Hazm mempunyai pandangan tentang menghapuskan kemiskinan dan memelihara keadilan sosial serta kewajiban pemerintah Islam dalam hubungan ini. Pandangan tentang hak orang tak punya atas kekayaan dari yang punya juga dihargai.
Ibnu Hazm merupakan satu-satunya jurist besar yang melarang menyewakan tanah pertanian sehingga pemilik tanah mempunyai dua pilihan, yaitu menggarap sendiri tanahnya atau memasuki suatu perjanjian bagi hasil tanah dengan penggarapnya.
13. Nizamul Mulk at-Tusi (408 – 485 H/1018 – 1093 M).
Nizamul Mulk at-Tusi hidup pada masa Khalifah al-Qadir (381 H/991 M) sampai Khalifah al-Muqtadi (467 H/1075 M). Sebagai perdana Mentrei yang penting untuk 30 tahun selama dinasti Saljuk Turki (447 H/1055 M), ia mempunyai pengetahuan tentang semua persoalan administrasi terutama yang berkaitan dengan tanah.
Kebujaksanaan yang tentang tanah dijelaskan dalam kitabnya Siasat Nameh, menampilkan sebuah gambaran yang seluruhnya berbeda dengan feodalisme Eropa. Menurut at-Tusi, adalah penguasa dan bukan tuan tanah yang menguasai tanah. At-Tausi nampaknya merasionalkan prektek feodal kuno di Persia yang menyangkut hak dari penguasa. Ia merekomendasikan pembatalan dari pembebanan oleh tuan tanah yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Tuan tanah dalam pandangannya hanyalah sebagai pengumpul pajak, mereka bahkan tidak mempunyai hak untuk menetapkan jumlah pajak karena merupakan hak mutlak pemerintah. Ia ingin mengurangi kekuasaan dan hak mutlak tuan tanah dan menjadikan pemerintah lebih berkuasa.
14. Al-Sarakhsi (w. 483 H/ 1090 M).
Syamsudin Al-Sarakhsi diperkirakan hidup pada masa Khalifah al-Qadir (381 H/991 M) sampai Khalifah al-Muqtadi (467 H/1075 M). Ia adalah seorang jurist terkemuka dari aliran Hanbali yang karya besarnya, al-Mabsut terkenal karena wawasan analitisnya pada bagi hasil dan sifat dari keuntungan itu sendiri. Sayang, sejauh ini karyanya belum ditelusuri untuk keperluan analisi dan gagasan ekonominya.
15. Al-Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Al-Ghazali hidup pada masa Khalifah al-Qa’im (422 H/1031 M) sampai Khalifah al-Mustazhhir (487 H/1094 M). Karya-karyanya Ihya’ Ulumuddin, usul fikih, al-Mushtafa dan dua makalahnya lainnya, Mizanul A’mal dan at-Tibr al-masbuq fi Nasihatil Muluk, adalah sumber utama dari pemikiran ekonominya.
Kepedulian utama al-Ghazali adalah perilaku individual yang dibahas secara rinci dengan mengingat al-Quran, sunah, laporan yang berkaitan dengan para Sahabat Nabi dan mereka yang menggantikannya, juga ucapan para sufi utama periode yang lalu, separti: Junaid, Bishr, Zun Nun al-Haritz al-Muhasibi. Ada suatu penekanan yang besar pada maksud baik dan perbuatan yang disengaja. Jadi, seseorang pedagang harus lebih baik ”mengarahkan keahlian atau daganganya pada pemenuhan salah satu dari tanggung jawab sosialnya.”
Seorang individu harus menghasilkan tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang dibutuhkannya untuk makan, pakaian dan perumahan. Daftar kebutuhan dasar ini telah diperluas untuk menutupi kebutuhan perabot rumah tangga yang penting, perkawinan dan membesarkan keluarga serta sedikit tanah milik. Tetapi, ia tidak terlalu murah hati dalam mendefinisikan standar untuk kebutuhan yang harus dipenuhi. Standar-standar mana ia mengacu adalah yang berkaitan dengan kehidupan nabi,para sahabat dan mereka yang menggantikannya, sesuai dengan yang ia pahami. Tidak terfikirkan olehnya bahwa masyarakatnya sendiri, anugerah alam, dan rata-rata standar pakaian, rumah dan lain-lain, relevan dengan bahasannya. Bahkan dalil dari penghasilan dan simpanan untuk memberikan derma tidak disenangi, walaupun khalifah Ali dilaporkan telah mengatakan, ”jika seseorang mempunyai semua kekayaan di dunia untuk dibelanjakan di jalan Allah, ia akan tetap menjadi seorang zahid.” Sedang mengenai penghasilan dan simpanan dengan motif duniawi, ia memastikan: ”Seseorang yang memiliki kekayaan duniawi melebihi yang ia butuhkan dan menimbunnya untuk diri sendiri di mana ia berada di antara ummat Allah yang memerlukan kekayaan itu, orang semacam itu adalah seorang penindas.ia berada di antara mereka yang menimbun emas dan perak.” Ia cepat menambahkan, namun demikian, ini bukanlah suatu ketentuan yang legal karena sulitnya menghitung kebutuhan individu secara objektif.
Norma-norma al-Ghazali mungkin berhubungan dengan beberapa cita-cita sufi kepada generasinya sendiri, sebagaimana juga cita-citanya kepada generasi muslim setelah dia yang diperkaya dengan ihya’-nya bahkan hingga hari ini sebagai suatu ringkasan ajaran islam. Tetapi, nampaknya mereka telah mempunyai sedikit pengaruh pada kehidupan di dalam pengadilan istana. Ia berada di dasar pasti,ketika ia memberikan nasehat kepada pengusaha untuk melaksanakan tugas terhadap subjeknya, memenuhi kebutuhan mereka dan menghentikan praktek korupsi seperti: memungut pajak tidak didukung oleh syariat. Ketika rakyat mengalami kekurangan dan tidak ada jalan untuk mendapatkan penghasilan untuk hidupnya, adalah kewajiban penguasa untuk menolong dengan menyediakan mereka makanan dan uang yang diperlukan dari bendahara publik. Mengenai pajak yang melewati dan di atas yang ditetapkan syariat,ia hanya akan mengizinkan jika pengeluaran untuk pertahanan dan lain-lain, tidak dipenuhi dari penerimaan normal. Dalam kasus inilah pinjaman oleh negara juga diperbolehkan.
Wawasan analisis Ghazali telah juga memperkaya evolusi ekonomi islami tentang uang dan memerhatikan bagaimana masyarakat sipil telah diorganisir tanpa perlu. Kontribusi yang tinggi mengingatkan kepada para philosophers sampai kepada ibnu Miskawaih, al-Ghazali memberikan beberapa tambahan wawasan. ia mencoba menerangkan dilarangnya riba al-fadl dengan alasan bahwa riba al-fadl itu melanggar sifat dan fungsi uang, dia juga mengutuk penimbunan uang, dengan dasar uang itu dilarancang untuk memudahkan pertukaran, dimana penimbunan menghalangi proses ini.
16. Nasiruddin at-Tusi (597-672 H/1201-1274 M)
Nasiruddin at-Tusi hidup pada masa Daulah Abbasiyah I dari zaman Khalifah an-Nashir (575 H/ 1180 M) sampai Daulah Abbasiyah II pada masa Khalifah al-Hakim (660 H/ 1262 M). Nasiruddin at-Tusi dihargai karena risalahnya tentang keuangan negara. Ia merekomendasikan pengurangan beban pajak dan menentang semua pajak yang tidak secara eksplisit ditentukan oleh syariah. Ia menekankan pentingnya pertanian dan menganggap perdagangan dan kegiatan lain sebagai kepentingan nomor dua. Risalahnya juga membahas perilaku ekonomi dari individu. Ia menekankan pentingnya simpanan dan menyarankan agar pengeluaran tidak digunakan untuk perhiasan dan tanah yang tidak digarap. At-Tusi juga membahas tentang pembagian kerja dan kesejahteraan umum. At-Tusi mengecam keras kegiatan konsumsi yang berlebihan dan penekanannya kepada simpanan dikemukakan juga pada risalahnya. At-Tusi menghendaki penguasa Mongol untuk merealisasikan bahwa pertanian adalah fondasi untuk keseluruhan perekonomian dan kemakmuran yang dibutuhkan sehingga keberadaan manusia dapat dijamin.
C. Berakhirnya Masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah I
1. Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional
Namun, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, waktu itu tidak ada kesadaran merajut elemen yang bermacam-macam tersebut. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terdahulu.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu'tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan: "Agama Muhammad SAW seperti juga agama Isa AS., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia. Soal kehendak bebas manusia... telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam ...Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah ... menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga".
4. Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol.
Pada situasi inilah, tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulaghu Khan, cucu Jenghis Khan menyerang Baghdad. Akhirnya Baghdad dapat ditaklukkan. Setelah itu, datang serangan kembali yang tak kalah dasyat dari keturunan Mongol yang dipimpin oleh Timur Lenk, seorang keturunan Karachar yang menjadi menteri pada masa pemerintahan Jagatai outra Jebghis Khan. Demikianlah, dengan jatuhnya Baghdad ke tangan tentara Mongol bukan saja mengakhiri masa pemerintahan khilafah Abbasiyah I yang berkuasa selama 508 tahun, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam.
Namun, dengan kehendak-Nya, roda sejarah pun bergulir kembali. Setelah dua tahun dikuasai bangsa Mongol dengan berbagai peristiwa yang menyertainya, kaum muslimin dapat memperoleh kekhalifahannya kembali. Bani Abbasiyah melanjutkan kembali kekhalifahannya yang disebut dengan Periode Abbasiyah II dengan Khalifah pertama al-Mustansyir pada tahun 659 H/1261 M).
D. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abul Abbas As Saffah tahun 132H/750 M di Kuffah, kekuasaan Khilafah Bani Abbasiyah dalam rentang waktu yang panjang selama 524 tahun, dari tahun 132-656 H atau 750-1258 M. Daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di masa khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M), dimana wilayah kekuasasanya terbentang dari pesisir samudra Atlantik sampai dengan Tembok Besar Cina.
Masa ini ditandai dengan banyaknya pemikir ekonomi islam, mereka antara lain
- Abu Yusuf. Masalah besar yang dihadapi negara, dalam pandangan Abu Yusuf harus diselesaikan dengan upaya mengedepankan nilai keseimbangan antara output dan input.
- Yahya bin Adam. Menulis Kitab Kharaj yang membahas tentang keuangan negara.
- Abu Ubaid al-Qasim bin Salam, menulis Kitab al-Amwal; sebuah karya lengkap tentang keuangan Negara dalam Islam.
- Ahmad bin Hanbal, mengecam praktek penurunan harga untuk mematikan usaha orang lain. Pemerintah harus ikut campur agar tidak terjadi monopoli.
- Junaid al-Baghdadi, mengungkapkan pentingnya tasawuf dalam perniagaan.
- Ibnu Mikawih, memandang pentingnya intervensi pemerintah untuk menjamin keadilan beberapa pihak dalam bertransaksi.
- Al-Mawardi, penulis Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, membahas tentang kewajiban penguasa, penerimaan, dan pengeluaran publik, tanah publik, tanah umum dan prerogatif negara untuk menghibahkan tanah dan mengawasi pasar
- Ibnu Hazm, melarang menjual tanah.
- Nizamul Mulk at-Tusi, penulis kitab Siasah Nemeh, yang membahas tentang kewajiban mengurangi kekuasaan dan hak mutlak tuan tanah dan menjadikan pemerintah lebih berkuasa atas tanah.
- Al-Ghazali. Mengutuk praktek riba fadhl dan penimbunan uang.
- Nashiruddin at-Tusi, menekankan pentingnya bertani sebagai mata pencaharian dan mengecam keras pola konsumsi yang berlebihan.
0 komentar:
Posting Komentar