Selamat Datang Di Blog Berbagi Ilmu Pengetahuan, Semoga Materi Dari Blog Ini Bisa Berguna Bagi Anda.

Minggu, 11 April 2010

Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam

Posted by Irfan Kurniadi 04.22, under | No comments

Krisis moneter dan ekonomi yang menimpa Indonesia sejak 1997 lalu memberikan banyak pelajaran berharga. Di antaranya, orang kembali menengok emas. Investasi (saving) emas menjadi pilihan yang menjanjikan. Betapa tidak, akibat krisis moneter, nilai kekayaan masyarakat jauh berkurang, baik karena nilai kurs rupiah yang anjiok maupun karena daya beli masyarakat yang sangat rendah. Kenyataan itu tak terjadi pada emas. Sebab, emas tidak terpengaruh oleh inflasi serta aman dari depresiasi nilai mata uang. Ini berbeda dengan bentuk investasi lain, misalnya deposito dan tanah.

Dengan suku bunga deposito yang tinggi misalnya, ternyata tingkat inflasi pun ikut pula tinggi. Investasi tanah pun menjadi amat riskan dalam situasi ekonomi yang rentan dan labil, karena tanah atau properti merupakan investasi yang paling tidak laku saat kondisi ekonomi sedang loyo.

Maka, wajar bila emas menjadi investasi strategis karena relatifbebas dari inflasi atau depresiasi nilai mata uang. Sebagai contoh, harga emas intemasional pada Juli 1997 adalah US $ 290/troy oz atau US $ 9,32/gram. Apabila kondisi mata uang di suatu negara -misalnya rupiahmerosot dari Rp 3 ribu menjadi Rp 12 ribu untuk 1 dolar AS, maka harga emas di Indonesia akan berubah dari Rp 27 ribu/gram menjadi Rp 111 .840,-/gram, atau naik sebesar 400 persen. Jadi, nilai emas akan selalu tetap, mengikuti berapapun dolar AS menghargai 1 gram emas (Moniaga, 1999).

Selain sebagai investasi, emas (dan juga perak) kembali ditengok sebagai altematif mata uang tangguh untuk mencegah merosotnya nilai mata uang. Nilai mata uang yang berlaku saat ini, pasti terikat dengan mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS). Tidak bersandar kepada nilai intrinsik yang dikandungnya sendiri. Implikasinya, nilainya tidak pernah stabil. Bila nilai mata uang itu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut

Fenomena seperti itu nampak mulai awal Juli 1997, tatkala 1 dolar AS masih senilai Rp 2.445. Karena faktor ekonomi -seperti defisit neraca transaksi berjalan— dan faktor non ekonomi —seperti isu seputar kesehatan Presiden Soeharto— pada awal Januari 1998 nilai rupiah telah anjiok menjadi Rp. 11.000 per 1 dolar AS. Jelas, nilai rupiah sangat tidak stabil karena terikat dolar AS.

Karenanya, orang mulai mencari-cari mata uang yang tak terkena depresiasi nilai mata uang serta mempunyai nilai intrinsik yang terkandung dalam dirinya sendiri. Emas dan perak memenuhi kriteria tersebut. Dengan menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, nilai nominal dan nilai intrinsiknya akan menyatu padu. Dengan kata lain, nilai nominalnya tidak ditentukan oleh daya tukamya terhadap mata uang lain, tetapi ditentukan oleh berat emas atau perak itu sendiri. Maka, depresiasi tidak akan terjadi sehingga kestabilan mata uang Insya Allah akan dapat dijamin.

Sebenarnya, umat islam telah akrab dengan mata uang emas (dinar) dan perak (dirham) itu. Bahkan mereka telah menggunakannya secara praktis sejak kelahiran Islam hingga runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pasca perang Dunia I. Namun karena ketidakpedulian dan hegemoni sistem moneter kapitalis atas mereka, dinar dan dirham kini seolah hanya impian atau dongeng belaka. Yang ada dalam kisah-kisah Seribu Satu Malam atau Nasrudin Hoja.

Sigit Pumawan Jati
SIMPONAS I, Sistem Ekonomi Islam, P3EI-FEUII, Yogyakarta 13-14 Maret 2002

0 komentar:

Posting Komentar