Selamat Datang Di Blog Berbagi Ilmu Pengetahuan, Semoga Materi Dari Blog Ini Bisa Berguna Bagi Anda.

Rabu, 24 Maret 2010

Kredit Macet

Posted by Irfan Kurniadi 02.57, under | No comments

DARI masa ke masa kredit bermasalah atau kredit macet di bank di belahan dunia mana pun selalu terjadi. Kebanyakan orang mengira bahwa kredit macet pastilah merupakan risiko kredit. Padahal belum tentu karena kredit macet bisa disebabkan oleh berbagai alasan. Paling tidak ada dua: risiko operasional (operational risk) dan risiko bisnis (business risk).

KREDIT dapat diberikan setelah memenuhi berbagai syarat. Pihak Bank Indonesia telah menyampaikan empat patokan dalam menyalurkan kredit: proses menyalurkan taat pada standar prosedur operasional yang disepakati, melakukan penilaian secara profesional, tidak melanggar kebijakan BI dan kebijakan publik, serta memiliki aturan internal bank yang baik (Kompas, 20 Mei 2005).

Dalam praktik operasional perbankan sehari-hari, kredit dapat diberikan kepada perorangan dan perusahaan. Secara berjenjang, kredit bank dapat diputus kantor cabang, kantor wilayah, atau kantor pusat sesuai dengan jumlah kredit yang diajukan calon debitor.

Kita ambil contoh. Kantor cabang dan kantor wilayah masing-masing memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memutus kredit sampai Rp 1 miliar dan Rp 10 miliar. Kredit lebih besar daripada Rp 10 miliar merupakan wewenang dan tanggung jawab unit korporasi di kantor pusat.

Terlebih dulu, pengajuan kredit harus dianalisis antara lain dengan 5C (character, capacity, capital, collateral, dan condition). Character bermanfaat untuk mengukur seberapa jauh calon debitor memiliki niat baik untuk mengembalikan kredit yang diperolehnya. Sementara itu, capacity digunakan untuk mengukur kemampuannya dalam mengembalikan kreditnya atas dasar kemampuan menjalankan bisnisnya, sedangkan capital untuk mengetahui sejauh mana perusahaan mampu menggunakan modal secara efektif.

Dua C terakhir, yakni collateral berguna untuk melihat sejauh mana jaminan yang diberikan dapat menutupi risiko yang mungkin timbul dan yang terakhir, condition, dimaksudkan untuk meneliti prospek bisnis dikaitkan dengan kondisi saat ini dan mendatang. Dengan bahasa jernih, perlu dilakukan analisis secara kuantitatif dan kualitatif sebelum kredit dikucurkan. Analisis semacam ini merupakan salah satu cara mengurangi risiko kredit. Inilah salah satu dari prinsip kehati- hatian (prudential banking).

Di samping itu, bank akan sangat memerhatikan, mempertimbangkan, dan melakukan kunjungan ke lapangan (On The Spot/OTS). Ini bukan hanya untuk membuktikan kebenaran dan kelayakan jaminan yang akan diikat, tetapi juga untuk mendeteksi secara langsung bisnis yang tengah berjalan.

Bisa saja terjadi, jaminan gedung yang semula tampak bagus dalam foto ternyata hanya seonggok bangunan kuno yang tinggal menunggu waktu untuk ambruk. Begitu pula jaminan yang berupa tanah lapangan ternyata benar tetapi milik orang lain setelah dilakukan penelitian lebih lanjut.

Hal-hal semacam itu dapat dicegah dengan melakukan OTS dengan benar. Jaminan di ujung dunia mana pun harus dibuktikan kebenaran dan kelayakannya. Mengapa? Benar terdapat rumah sebagai jaminan, tetapi tak layak karena segera runtuh. Jaminan dalam dunia kredit sungguh berperan penting untuk mengukur seberapa jauh kredit dapat dikucurkan.

Itu semua untuk mencegah atau minimal mengurangi kredit macet yang merupakan risiko kredit. Apa itu risiko kredit? Risiko kredit adalah risiko yang timbul karena pihak peminjam (debitor) tidak mampu lagi memenuhi segala kewajibannya kepada pihak pemberi pinjaman atau kreditor (misalnya bank).

Namun, biarpun semua peraturan dalam memberikan kredit telah dipenuhi dengan benar dan baik, risiko kredit tetap memiliki kemungkinan terjadi. Mengapa? Karena risiko kredit itu merupakan risiko yang melekat (inherent risk) dalam pengucuran kredit. Namun risiko kredit itu bisa berubah total menjadi risiko operasional.

Risiko operasional

Risiko operasional lahir ketika dalam langkah kerja atau alur pengucuran kredit ternyata terdapat karyawan bank yang sengaja atau tidak membuat kelalaian.

Kelalaian dapat meliputi berbagai bentuk. Misalnya, membuat usulan kredit lebih tinggi dari seharusnya (mark up), tak melakukan OTS sebagaimana mestinya, salah menghitung nilai jaminan, keliru menghitung kekuatan finansial perusahaan yang bisa bersifat manajerial, kuantitatif dan kualitatif, salah dalam menilai kualitas aset dan posisi likuiditas perusahaan, salah menentukan pendapatan dan arus kas yang mencukupi untuk menutup kewajiban utangnya, salah dalam menentukan arah industri yang merupakan potensi nasabah. Satu lagi, ketika "orang dalam" bank bermain mata dengan nasabahnya.

Kalau salah satu dari contoh di atas terpenuhi, akan tercipta risiko operasional yang berasal dari risiko orang (people risk). Oleh Krisna Wijaya, risiko ini disebut sebagai error omission (Kompas, 27 Mei 2005). Dan ini sering terjadi di lapangan. Sungguh ini lebih menyedihkan mengingat insan bank sejatinya justru dituntut memiliki integritas atau kejujuran yang tinggi. Bermoral tinggi. Bukan moral karet! Moral model ini mampu mengikuti bentuk apa saja yang dikehendaki.

Risiko bisnis

Kredit macet dapat pula disebabkan oleh risiko bisnis. Apa pula itu risiko bisnis? Risiko bisnis merupakan risiko yang timbul karena berbagai sebab. Kita sebut beberapa.

Lingkungan bisnis antara lain meliputi perubahan kebijakan ekonomi, gaya hidup, pemerintah, teknologi. Karakteristik industri: persaingan bisnis yang makin ketat dan tajam serta profitabilitas, kekuatan pembeli dan pemasok, siklus perkembangan (awal, tumbuh, matang, menurun). Dan posisi perusahaan itu sendiri yang meliputi pangsa pasar, efisiensi operasi, dan strategi bisnis.

Salah satu contoh risiko bisnis yang populer adalah ketika karyawan suatu perusahaan dengan tiga shift melakukan demo terus-menerus. Berhari-hari. Apa dampaknya? Selama hari demo tidak akan ada produksi sama sekali sehingga jangan bicara soal produktivitas. Mesin produksi harus berhenti untuk sementara, padahal untuk menghidupkan kembali mesin itu memerlukan biaya mahal. Produksi jauh berkurang, tetapi biaya produksi meroket.

Ada lagi. Ekspor udang ke Jepang yang ternyata ada kebijakan bea dan cukai yang memerlukan pemeriksaan cukup lama. Akibatnya udang tersebut terancam busuk, kualitas anjlok. Dan akibat berikutnya, kemungkinan besar ekspor tersebut tidak akan terbayar 100 persen. Intinya, perusahaan merugi. Oleh karena itu, risiko bisnis akan memengaruhi delta (perubahan) ekuitas dan sekaligus pinjaman alias utang.

Ujungnya, risiko bisnis membawa risiko kegagalan utang (default risk of debt) sekaligus risiko finansial ekuitas suatu perusahaan (financial risk of equity). Hal ini sejatinya merupakan potensi kegagalan suatu pinjaman. Bahkan risiko bisnis juga berkaitan dengan risiko pasar (market risk) melalui semua komponennya, antara lain risiko suku bunga (interest rate risk), risiko ekuitas (equity risk), risiko devisa (foreign exchange risk), dan risiko komoditas.

Ilustrasi di atas menunjukkan risiko bisnis merupakan salah satu faktor pemicu kredit macet. Risiko kredit tak dapat dipisahkan dari risiko bisnis suatu perusahaan.

Menurut Michael Crouhy dan kawan-kawan (2001), bank masa depan yang efisien akan dikendalikan oleh mesin yang mampu menghasilkan analisis risiko tunggal. Mesin ini akan menggambarkan data yang berasal dari gudang data tunggal. Selain itu, mesin ini juga akan memberdayakan fungsi front office (maksudnya antara lain analis kredit, pengelola kredit, pemutus kredit), middle office (manajemen risiko), dan back office (antara lain bagian administrasi kredit, bagian akuntansi) suatu bank. Tidak berhenti di situ.

Mesin ini akan mampu memberikan informasi mengenai risiko perusahaan secara luas. Bank dituntut memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi untuk mengurangi risiko.

Paul Sutaryono Praktisi Perbankan

0 komentar:

Posting Komentar