Selamat Datang Di Blog Berbagi Ilmu Pengetahuan, Semoga Materi Dari Blog Ini Bisa Berguna Bagi Anda.

Jumat, 26 Maret 2010

Ekonomi Islam Sebuah Alternatif

Posted by Irfan Kurniadi 01.58, under | No comments

BAB I

Pendahuluan

Ketika turun ke bumi Adam as telah disongsong oleh berbagai macam problema kebutuhan hidup dan pengenalan berbagai sarana serta tata cara pencapaiannya, sebab keadaaan serba kecukupan hanya ada di dalam surga.

Dengan meningkatnya populasi penduduk bumi, ditambah dengan begitu pesatnya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi, maka berbagai permasalahan manusiapun akan semakin menumpuk dan mengkristal. Sementara tindak pengerusakan dimuka bumi yang dilakukan manusia dalam berbagai bentuk dan caranya terus menerus berlangsung.

Memang problematika dasar yang mengepung umat manusia dapat terangkat berkat perhatian, usaha dan kerja keras dari para cendekiawan. Bahkan problematika tersebut dijadikan pokok bahasan utama dari suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu ekonomi

Namun kenyataan yang kita lihat sekarang, sekalipun para ahli ekonomi telah berusaha keras mencurahkan segala kemampuannya dan perhatiannya untuk mengkaji problematika dasar ini, misalnya mengupayakan tata cara dan berbagai terapi untuk mencari jalan keluar dan pemecahannya. Kenyataan malah menunjukkan bahwa permasalahan problematika ekonomi umat manusia dari hari ke hari semakin munumpuk. Sehingga nampak ada suatu korelasi positif antara kemajuan ilmu ekonomi dengan semakin menguatnya problematika itu sendiri. Dan membawa kita pada suatu puncak ironisme yang menyedihkan karena ilmu ekonomi itu tampak tidak mampu eksis bahkan makin mengembangbiakkan, memperbesar dan mengkristalkan problematika ekonomi manusia itu sendiri

BAB II

Kebutuhan Manusia

A. Perspertif Ekonomi Konvensional

Dalam bahasa inggris yang merupakan bahasa Ilmu ekonomi konvensional akan selalu kita temukan kata need, want, wise dan desire.. Need diterjemahkan sebagai kebutuhan (al-haajat) sementara kata lainnya diartikan sebagai keinginan (al-raghbat), kecenderungan (al-mail) dan rangsangan nafsu (al-syahwat).

Yang paling penting dan harus dimengerti dalam mempelajari istilah ekonomi tersebut adalah ternyata ada perbedaan yang mendasar antara kata kebutuhan dan keinginan.

Telah dinyatakan sendiri, ilmu ekonomi menyandarkan diri kepada Ilmu jiwa (psikologi) yang secara khusus mempelajari berbagai motivasi (al-dawafi’) dan kebutuhan manusia.

Ilmu jiwa membedakan dengan jelas dan tegas perbedaan antara kebutuhan dan keinginan manusia. Dimana keinginan (al-raghbat) manusia diidentifikasikan sebagai Quasi Need (Syibhil Haajat) sedangkan kebutuhan didefinisikan sebagai goncangan yang menggangu keseimbangan individu, yang membuat individu selalu berusaha mengembalikan keseimbangannya.

Selain itu ilmu jiwa juga menyatakan bahwa berbagai kebutuhan individu itu secara garis besar terbagi atas 2 bagian, yaitu: kebutuhan yang sifatnya mendasar, kebutuhan fitrah atau jasmaniah dan kebutuhan yang siftanya non fisik atau social. Sedangkan dalam pembahasan mengenai kebutuhan mendasar atau fitrah, sama sekali tidak didapati pernyataan ilmu jiwa yang menyiratkan bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas.

Dalam ilmu ekonomi kita akan menjumpai bahwa kebutuhan selalu didefinisikan sebagai, “keinginan untuk memperoleh suatu sarana tertentu, sebagai upaya untuk menghentikan penderitaan atau mencegah terjadinya hal itu. Bahkan untuk melestarikan suatu kondisi atau meningkatkannya”.

Dari definisi itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kebutuhan (haajat) manusia itu, ternyata diterjemahkan menjadi keinginan (raghbat) manusia. Untuk menghilangkan penderitaan atau merealisasikan kesenangan.

Mengapa Ilmu ekonomi konvensional harus terus menerus berpegang pada kata “utility” ketika menjelaskan kesenangan atau penderitaan. Padahal kata tersebut bermakna “semata mata pemuasan keinginan”, mengapa mereka tidak menggunakan kata “benefit” yang bermakna keuntungan atau kefaedahan?.

Yang membuat perspektif ilmu ekonomi konvensional semakin terasa janggal adalah, pada dasarnya mereka pun memahami dan menyadari benar bahwa sesuatu yang kerap kali diinginkan individu itu sebenarnya seringkali tidak memberikan manfaat atau faedah.

Sementara itu ilmu ekonomi konvensional memandang bahwa berbagai kebutuhan manusia itu tidak terbatas (perhatikan pemahamannya mengenai hakikat kebutuhan) yang oleh karena itu dalam banyak literature ekonomi, kita akan sering menemukan ungkapan “unlimited wants” (kebutuhan yang tidak terbatas)

Demikianlah ilmu ekonomi konvensional menempatkan kebutuhan manusia dalam perspektifnya, yang dalam selintas saja sudah menunjukkan ketidakjelasan dalam membedakan kebutuhan dan keinginan.

Bahkan ironisnya keduanya di perlakukan sebagai 2 hal yang identik, sehingga dalam praktek, yang dimaksud dengan kebutuhan setiap individu atau pelaku ekonomi itu sesungguhnya adalah “keinginan” (raghbat) yang mencakup apapun yang dinginkan oleh setiap manusia.

Selain itu karena telah dinyatakan oleh ilmu ekonomi konvensional bahwa, kebutuhan atau keinginan manusia itu tidak terbatas, maka secara logis kebutuhan dan keinginan manusia tiu akan selalu ada dan berkembang selamanya.

B. Munaqasyah (Ukuran Keabsahan)

Karena kurangnya perhatian, maka teori ekonomi konvensional sebenarnya telah terjebak ke dalam suatu sikap dan kesimpulan yang sangat subyektif atau lepas dari suatu penelitian obyektif terhadap berbagai masalah penting yang paling mendasar dalam pemecahan problematika ekonomi manusia

Dengan demikian kelemahan ilmu ekonomi konvensional adalah kurang cukupnya kewaspadaan akan adanya perbedaan antara kebutuhan yang harus menggunakan istilah atau terminology al-haajat (need), dimana jika tidak terpenuhi akan menggangu keseimbangan manusia dalam kehidupannya, dengan kebutuhan manusia yang masuk dalam terminologi al-raghbat (want) dan al-syahwat (desire). Dimana kedua jenis kebutuhan tersebut hanya merupakan desakan perasaan yang tidak terbatas.

Dengan demikian tanpa harus memasuki lorong lorong ilmu mantiq (logika), kita dapat mengetahui perbedaan karakter antara kebutuhan dan keinginan manusia. Selain itu perspektif ekonomi konvensional rupanya menciptakan masyarakat konsumerisme (al-mujtama’l al istihlaki, atau Consumptive Society) yang tadinya merupakan pola kehidupan dunia barat, namun hendak diterapkan dalam dunia timur. Selain itu, tercipta pula pa yang disebut dengan masyarakat nihil (mujtama’l adam atau nil society).

Dalam hal ini G. Destaing perrnah memberikan komentarnya “Saya selalu merasa bahwa sebenarnya masyarakat konsumerisme tidaklah layak bagi negeri Perancis, karena pada giliranya hanya akan merobohkan negeri ini. Dan sampai saat ini mereka telah menghancurkan sebagian dari tepian pantai, gunung, kota kota, nilai hidup, bahkan kebudayaan kita. Maka wajar jika gaya hidup konsumerisme perlu diwaspadai, karena nyatanya ia memiliki sifat destruktif yang sangat mengerikan.

Maka ringkasnya dapat diambil kesimpulan bahwa gaya hidup konsumerisme ini merupakan wabah penyakit menular yang mengancam dan membahayakan bagi seluruh penduduk dunia.

C. Perspertif Ekonomi Islam

Dalam membahas perspektif ilmu ekonomi islam, ada satu titik awal yang harus benar benar kita perhatikan yakni, “bahwa ekonomi dalam islam bermuara pada aqidah islam, yang bersumber dari syariatnya. Hal ini baru disatu sisi, sedangkan disisi lainnya adalah Al Qur’an dan As Sunnah Nabawiyah yang berbahasa arab”.

Oleh karena itu, berbagai terminologi dan substansi ekonomi yang sudah ada haruslah dibentuk dan disesuaikan dalam kerangka Islami. Untuk mengetahui perspektif ekonomi islam mengenai isu keterbatasan atau ketidakterbatasan kebutuhan manusia secara ilmiah, maka terlebih dahulu harus mengetahiu pula hubungan dan perbedaan antara kebutuhan dan keinginan manusia menurut islam. Lantas menentukan berbagai kriteria yang akan kita jadikan ukuran dalam menentukan batasan apa saja yang sebenarnya merupakan kebutuhan yang mana yang tidak.

Secara lughawi kata al-haajat memang selalu berkisar pada makna dan pengertian: kemiskinan, tuntutan dan sesuatu yang dibutuhkan manusia, yang pada awalnya juga merupakan keinginan agar hilang (dengan memenuhinya)

Adapun pemahaman lughawi pada kata al-raghbat selalu berkisar pada kehendak atau kecenderungan. Atau merendahkan diri dan meminta minta. Sedangkan kata al-raghiib berarti pemberian yang banyak, al-raghabu berarti banyak makan dan rakus. Dan Ardl raghaab adalah tanah yang tidak mengalir airnya, kecuali dengan hujan yang banyak.

Waadi raghiib adalah lembah yang besar dan luas, dan al-raghuub al-waasi’ adalah perut manusia yang terlalu banyak makan. Al-maraghib adalah ketamakan dan raghb’l nafsi artinya luasnya angan-angan dan selalu menuntut lebih. Sedangkan Sesuatu yang bertambah luas, maka ia telah menjadi keinginan, sedangkan asal kata generik al-raght adalah berluas luas dalam sesuatu.

Kalau kita perhatikan, maka nampak berbagai perbedaan esensial antara 2 ungkapan bahasa dan materinya itu, selain adanya keterikatan diantara keduanya. Nampak sekali berbagai makna yang menggunakan kata al-raghbat (keinginan) itu berarti keburukan, kerusakan, berluas luas dan ketamakan. Dimana berbagai makna ini tidak akan pernah kita temukan pada al-haajat (kebutuhan)

Firman Allah Swt

”Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S Al Hasyr (59) : 9)

”Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”. (Q.S An Nisaa’ (4) ; 27)

”Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”.(Q.S Maryam (19) ; 59)

Dalam sebuah hadist diriwayatkan:

“Surga itu dikelilingi dengan hal hal yang dibenci (di dunia)”.

“Seandainya saja bani Adam memiliki satu lembah emas, niscayalah ia lebih suka memiliki dua lembah, dan sendainya ia memiliki dua, niscayalah ia akan lebih suka memiliki tiga”.

Dalam sebuah atsar:

“Alangkah berlebih lebihan, seseorang yang melahap segala sesuatu yang diinginkannya”.

Para pakar ilmu juga telah meletakkan suatu takrif (definisi) mengenai kebutuhan pokok, yaitu yang menghindarkan manusia dari kehancuran secara faktual (nyata) maupun prediktif (perkiraan), yang kedua seperti hutang, yang pertama seperti nafkah, tempat tinggal, persenjataan diri, pakaian sehari hari, perlatan kerja, perkakas rumah tangga, kendaraan dn buku buku ilmu pengetahuan bagi para pencari ilmu.

Dari uraian di atas, maka dapatlah kita mulai mengkontruksikan suatu kaidah universal yang dapat dan mampu menggambarkan suatu kriteria, dasar teoritis, aturan dan batasan tertentu bagi berbagai kebutuhan manusia dari sudut pandang Islam.

Dengan demikian, segala macam kebutuhan manusia yang secara otomatis dituntut oleh kehidupannya sendiri agar dapat hidup layak, tentram, damai dan harmonis sesuai dengan tugas dan tujuan hidupnya.

BAB III

Kemampuan Sumber Daya

A. Perspektif Ekonomi Konvensional

1. Pengertian Sumber Daya

Ilmu ekonomi konvensional, telah menyatakan bahwa berbagai sumber daya atau sarana pemenuhan kebutuhan manusia sifatnya langka secara nisbi. Atau ekonomi konvensional berpendapat bahwa kemampuan dari berbagai sumber daya tersebut terbatas, sedangkan kebutuhan manusia tidaklah terbatas.

Apakah yang dimaksud sumber daya dalam ekonomi konvensional adalah barang barang hasil produksi manusia? Berbagai unsure produksi? Sumber daya alam? Sumber daya manusia? Atau ada yang lainnya? Mari kita simak yang diungkapkan Lipsey:

“Mayorotas penyebab timbulnya problematika ekonomi manusia adalah akibat tindakan eksploitasi pada semua sumber daya untuk memenuhi berbagai keinginannya. Dimana sumber daya tersebut terbentuk dari kekayaan alam saja, seperti; lahan, tanaman, hutan dan tambang. Namun mencakup pula sumber daya manusia secara fisik maupun mental. Sehingga termasuk juga kedalamnya semua karya buatan manusia yang membantu produktivitas dan pengembangan kegiatan manusia, seperti alat alat produksi, pabrik pabrik dan bangunan industri.

Dengan demikian jelaslah bahwa ekonomi konvensional memang membatasi pengertian sumber daya hanya pada semua unsur produksi. Oleh sebab itu, hukum yang dikeluarkan mereka mengenai sumber daya pun sangat terbatas sehingga tidak cukup memenuhi berbagai kebutuhan manusia, yang dimaksud bukanlah sumber daya yang ada secara keseluruhan.

Oleh karena itu, asumsi tentang kelangkaan sumber daya yang dikemukakan ekonomi konvensional terbentuk dari unsur unsur yang digunakan, tidak kepada semua unsur. Lantaran apa artinya keterpenuhan yang sempurna, jika hanya ada pada satu unsur saja? Sementara unsur unsur lainnya sama sekali tidak diperhitungkan.

2. Pengertian Kelangkaan

Ekonomi konvensional telah membatasi makna dan arti kelangkaan, sementara batas-batas yang diterapkan tidaklah mencakup seluruh sumber daya yang ada secara kuantitas atau apa adanya. Namun hanya dari segi hubungannya dengan kebutuhan atau keinginan manusia, jadi belum pada substansinya secara mutlak.

Dalam menjelaskan hubungan antara keduanya dinyatakan pula bahwa berbagai sumber daya itu tidak akan mencukupi dalam artian sumber daya yang ada tidak memenuhi target, tidak mampu atau di bawah standar untuk memenuhi semua kebutuhan manusia.

Dengan demikian kaidah atau kriteria ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa berbagai sumber daya yang ada itu relatif langka ternyata hanya berdasarkan perbandingan antara berbagai sumber daya dengan berbagai kebutuhan serta keinginan manusia. Dimana fenomena ini secara jelas dapat dilihat pada masalah harga atau kemampuan membeli seseorang.

Perspektif global ekonomi konvensional didalam menguraikan masalah ini adalah sebagai berikut: “Seluruh manusia dianggap mempunyai berbagai tuntutan, dimana berbagai tuntutan ini tidak akan dapat terpenuhi kecuali melalui cara cara tertentu, misalnya dengan keharusan mendapatkan atau memiliki berbagai sarana pemenuhan atau sumber daya.

Bagaimana cara manusia berusaha agar dapat memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya itu semaksimal mungkin, dari kebutuhan yang paling penting hingga sekedar penting, inilah yang disebut problematika ekonomi manusia.

B. Munaqasah (Ukuran Keabsahan)

Jelas sekali pembahasan kebutuhan dan keinginan manusia secara kuantitatif tidak akan pernah berhasil, lantaran kedua hal tersebut relatif sifatnya. Selama mereka masih menerima pikiran dan mengakui bahwa kebutuhan serta keinginan mereka tidak terbatas. Karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas itu di batasi? Demikian pula dengan pembatasan secara kuantitatif terhadap sumberdaya dan berbagai potensi lainnya juga tidak akan berhasil.

Oleh sebab itu, seharusnya berbagai sumber daya yang ada tidak dipandang sebagai sebuah temuan yang baku, namun harus dipandang sebagai sesuatu yang terus mengalir selama manusia ada. Dan manusia dituntut untuk terus memperbaharuinya dengan berbagai percobaan dan penemuan baru melalui sains dan teknologi.

Ada pertanyaan penting yang timbul apakah sumber daya yang ada sudah dimanfaatkan secara adil? Dan kalau memang sudah adil, barangkali pernyataan mengenai kelangkaan dan ketidakmampuan berbagai sumber daya tersebut dapat diterima. Namun pertanyan ini tidak pernah dijawab oleh para ahli ekonomi.

Oleh sebab itu akan timbul satu pertanyaan yakni; ”Apakah layak suatu disiplin ilmu disebut ilmu, yang melakukan perbandingan diatas kegagalannya?”

C. Perspektif Ekonomi Islam

1. Pengaruh adanya Istilah Kelangkaan

Benarkah berbagai sumber daya yang ada itu sedemikian sedikit? Hingga kerja keras manusia akan sia-sia, jadi tak perlu digali, bahkan tak perlu ditoreh lagi? Sementara untuk dapat mengungkap dan membahas perspektif ekonomi islam, masih terdapat sejumlah pemikiran yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Hendaklah perbandingan kebutuhan manusia dengan alat pemenuhan kebutuhannya dilakukan dalam pemahaman Islam, tidak dalam pemahaman konvensional karena konklusinya akan sangat berbeda.

b. Bahwa kerja keras manusia dengan segala resiko yang ditanggungnya merupakan realitas semesta yang tidak dapat diragukan lagi. Sementara Sunatullah didunia ini selalu berdiri diatas sebab musabab.

c. Sunnah Ilahi (hukum alam) yang mengatur seluruh kehidupan manusia dan tercermin di dalam kaharusan hidup bermasyarakat serta saling bekerja sama.

2. Sarana Pemenuhan pada Tingkat Semesta

Menilik dari segi asal usulnya, akan timbul pertanyaan ”Apakah dapat dibayangkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi tidak menyediakan berbagai sarana pemenuhan kebutuhan atau berbagai sumber daya yang cukup
Prinsip ini sangat bertentangan dengan Rabbubiyyah (Ketuhanan), sehingga sejak awal ditolak mentah-mentah

Firman Allah:

”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).” (Q.S Huud (11) : 6)

” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.". (Q.S Fushshilat (41) : 10)

Kesimpulan yang kita dapat adalah: Pertama ternyata manusia berada diatas muka bumi seluruhnya, bukan hanya diatas satu daerah bagiannya. Kedua ayat ini menggambarkan kepada kita, bahwa Allah Swt memberkati bumi, yakni menitipkan berkah didalamnya.

Dari kesimpulan ini dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa beberapa negara memiliki kekhususan sember daya alam misalnya, yang tidak dimiliki negara lain. Hal ini boleh jadi mensistematisasikan tata aturan bumi, selain agar timbul seling membutuhkan antara penghuni satu bagian dengan bagian yang lainnya.

Oleh karena itu ketidak berdayaan sumber daya pada tingkat alam semesta yang dihubungkan dengan sebab musabab atau asal usulnya sama sekali tidak relevan

Sesuai kesepakatan para ulama, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan relatif dari berbagai sumber daya semata mata disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri yang memang belum mampu mengembangkan dirinya untuk menggali berbagai potensi yang ada

Manusia secara tidak sadar telah mengubah berbagai keadaan sumber daya dari ketercukupan dan ketersediaannya menuju ketidakberdayaan atau kelangkaan yang lantas oleh para pakar ekonomi barat prilaku konsumtif manusia itu di vonis sebagai tindakan kriminal

Firman Allah:

”Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Q.S An-Nahl (16) ; 112).

”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S Ar-Ruum (30) : 40)

Dengan demikian kita bisa nyatakan bahwa berbagai sumber daya yang ada mampu memenuhi berbagai kebutuhan manusia, dengan catatan manusia benar-benar konsisten dan konsekwen dalam menempuh tata cara dan aturan yang ditetapkan dan selalu mengacu kemaslahatan. Jika tidak maka akan selalu timbul ketidakberdayaan dan ketidakmampuan.

3. Sarana Pemenuhan di Bawah Tingkat Semesta

Fenomena yang ada sumber daya pada tingkat ini secara umum tidak pernah mencukupi, penyebabnya karena ada kelemahan atau kecenderungan ketidakmampuan pada satu atau lebih dari berbagai unsur produktivitas, yang menggangu timbulnya berbagai sarana pemenuhan kebutuhan manusia.

Padahal untuk dapat menggali seluruh potensi sumber daya yang ada, manusia hanya membutuhkan 2 hal yaitu: modal dasar dan waktu. Sementara keterbatasan yang menimpa modal dasar dan waktu tersebut menrupakan tanggung jawab manusia.

Bukti kongkretnya adalah berbagai tambang bumi yang tersebar diseluruh belahan dunia nyatanya ada sepanjang zaman, sehingga setiap generasi tidak harus memulai kerja mereka dari nol, melainkan hanya meneruskan saja apa yang telah diupayakan generasi pendahulunya sehingga akan tercipta dengan sendirinya efisiensi waktu dan efektivitas kerja manusia baik fisik maupun psikis.

Oleh sebab itu seyogyanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan waktu harus diperhitungkan dengan akurat, serta bisa mempergunakan waktu tersebut dengan sebaik baiknya.

Mengapa demikian? Lantaran banyak manusia yang mengeluh soal waktu, seperti: waktu terbatas, singkat, kurang cukup bahkan waktu sering disebut sesuatu yang langka.

Renungkanlah sejenak, ”berapa banyak sebenarnya waktu yang sudah kita buang dan kita sia-siakan, lantaran satu sebab atau sebab lainnya? Siapakah diantara kita yang telah beruntung. Lantaran siap dan bahkan sudah membagi waktu dengan cara yang benar, disesuaikan dengan kebutuhan yang beraneka ragam?”.

Oleh karena itu, salah satu yang menjadi penyebab timbulnya kerugian manusia adalah sifat, sikap dan tindakan manusia yang merusak serta menyia nyiakan waktu yang tersedia.

BAB IV

Metodologi Pemecahan Masalah

A. Metode Sistem Ekonomi Konvensional

Secara umum metode yang digunakan oleh sistem ekonomi konvensional untuk memecahkan problemarika ekonomi manusia selalu kembali kepada sumber daya yang ada. Selalu berkonsentrasi kepada produk. Padahal dengan adanya metode ini, manusia akan terangsang untuk terus menerus menciptakan dan menambah berbagai kebutuhan dan keinginan hidupnya.

Berangkat dari keyakinan yang sangat keliru, maka konsekwensinya adalah bahwa segala sesuatu yang diinginkan oleh manusia karena dianggap kebutuhan haruslah dipenuhi lantaran kebahagiaan seseorang menurut ekonomi konvensional juga diukur oleh berhasil tidaknya mereka dalam memenuhi seluruh keinginannya tanpa kecuali.

Oleh karena itu, dalam prakteknya kita sering menyaksikan bahwa kepentingan memenuhi kebutuhan hidup manusia yang satu, yang tampak sudah begitu mendesak sehingga berubah menjadi suatu tuntutan hidup dapat dikalahkan. Bahkan dikorbankan oleh kepentingan pemenuhan manusia lain yang ternyata hanya berupa keinginan, kebutuhan tak penting, nafsu, hobby atau untuk kesenangan belaka.

Untuk lebih jelas kita simak dari pakar ilmu konvensional sendiri yang mengungkapkan adanya pemborosan dari para pelaku ekonomi konvensional.

Franklin Pearl, misalnya melalui bukunya menyatakan ”rasanya patut menjadi bahan tertawaan dunia, lantaran 90% dari hasil berbagai perburuan besar di wilayah Peru hanya dijadikan makanan bagi hewan piaraan penduduk Amerika dan Eropa”.

Sehingga sambungnya, ”Majalah berita minggguan TIMES pada salah satu terbitannya merasa perlu membuat tuntutan pemusnahan terhadap sekitar 3.000 hektar hutan rimba di Peru yang selama ini dijadikan surga oleh para pemburu.

Selanjutnya diungkapkan pula olehnya bahwa ”Orang orang Amerika memiliki sekitar 100 juta anjing dan kucing. Dimana binatang tersebut bisa menghabiskan sekitar 1/3 dari produksi ikan kaleng yang ada. Begitu juga di salah satu daerah di India, terdapat 50 juta ekor sapi dan kera, dimana jumlah binatang tersebut menyamai jumlah penduduk disana.

Bukankah hal ini sangat menggelikan? Apalagi jika ada yang mempertanyakan, ”Sebenarnya mana yang lebih penting, memenuhi kebutuhan kucing, anjing, sapi dan kera sebagai bahan peliharaan atau memenuhi kebutuhan pangan manusia?”. Lantaran pada saat yang sama, masih terdapat 2 milyar anak manusia kelaparan atau hidup dalam situasi dan kondisi yang sangat buruk.

Sementara itu, Jack Lope dalam bukunya menyatakan bahwa; ”Setiap detik, dunia kehilangan sekitar 200 hektar lahan pertanian yang produktif, sedangkan pada saat yang sama hanya sekitar 40 hektar per detik yang dijadikan lahan pertanian baru”.

Bukankah hal ini merupakan kesalahan fatal? Apakah ini yang mereka sebut memanfaatkan secara baik sumber daya yang langka? Sementara disisi lain para ahli ekonomi konvensional sudah meramalkan bahwa ”pada tahun 2020 akan banyak terjadi kepunahan pada hutan rimba, terutama yang berlokasi di negara berkembang”.

Ekonomi konvensional sudah menghancurkan banyak sekali kebutuhan hakiki manusia dari pada memenuhinya sebagaimana yang di klaimnya.

Menurut hasil riset di Academy of Sciences di Uni Soviet, diketahui jumlah pacandu minuman keras mencapai angka 40 juta pada tahun 1980, sementara minuman keras mampu membunuh 1 juta orang setiap tahunnya. Dan tercatat pula bahwa para penderita sakit akibat minuman keras setiap tahun adalah 17 juta orang. Sedangkan minuman keras memiliki saham sekitar 85% dari faktor penyebab timbulnya tindak kriminal.

Yang juga mengejutkan, bahwa pemasukan pajak hasil penjualan minuman keras per tahun mencapai 56 milyar dolar, sementara jumlah kerugian ekonomi akibat kecanduan minuman keras setiap tahun mencapai 225 milyar dolar.

Sementara disisi lain timbul pertanyaan, apakah hal ini yang mereka maksud dengan kebutuhan tidak terbatas? Atau apakah hal ini merupakan cara memanfaatkan dan spesifikasi yang paling baik terhadap sumber daya yang langka itu?

Demikianlah salah satu gambaran dari hasil riset tadi, yang mencerminkan keburukan sikap ekonomi konvensional, yakni antara lain menciptakan industri dan memproduksi barang-barang yang merangsang berbagai keinginan manusia untuk terus berusaha mendapatkannya.

B. Antara Teori dan Aplikasi

Banyak pihak yang menyatakan bahwa semua ketidakberesan dan keburukan yang terjadi dalam usaha memecahkan problematika ekonomi manusia itu hanya terkait pada aspek aplikasi dan politik ekonomi itu sendiri. Sedangkan teori sistem ekonominya sendiri terlepas dari semua tanggung jawab dengan adanya ketidak beresan secara total tersebut. Lantaran buruknya sebuah aplikasi tidak akan pernah menimbulkan efek negatif bagi teori yang di praktekkannya.

Namun demikian, suatu ilmu yang di ciptakan untuk memecahkan problematika manusia, seperti ilmu ekonomi, seyogyanya tidak hanya mengandalkan aspek teoritis saja. Namun aplikasi dari teori politik ilmu ekonomi tersebut juga harus dapat diandalkan.

Sehingga dari hasil aplikasinya negatif, cacat dan hanya menimbulkan kerugian yang lebih besar, maka hal ini sebenarnya sudah menunjukkan cacat dari aspek teori dan politik dari politik ilmu ekonomi tersebut.

Oleh karena itu marilah kita coba mengetahui secara numerik petunjuk dalam teori ekonomi konvensional melalui berbagai prinsip dan politiknya. Dimana akan terlihat dengan jelas dampak negatif yang ditimbulkan akibat adanya prilaku pembelian konsumen terhadap berbagai jenis komoditi.

Untuk lebih jelasnya mari kita prediksi bahwa setiap orang membutuhkan jam tangan dengan berbagai jenis, dari yang seharga $20 sampai $20.000:

- Prosentase penghancuran sumber daya akibat harga dan jenis jam yang beraneka ragam tersebut mencapai 100.000%. Lantaran jika dana $20.000 dimanfaatkan untuk memproduksi jam seharga $20, maka akan di hasilkan 1.000 jam yang mampu memenuhi kehidupan hakiki 1.000 orang.

- Dengan demikian, dana yang telah disia-siakan hanya untuk memproduksi 1 unit jam tangan dengan harga $20.000 adalah $19.980.

- Jika kita prediksi bahwa kebutuhan biaya hidup manusia khususnya pangan, untuk seorang pria dewasa setiap harinya adalah $10, maka pembelian 1 unit jam tangan seharga $20.000 sama artinya telah mengorbankan atau menyia nyiakan kesempatan dalammemenuhi kebutuhan hakiki 1998 manusia.

- Apabila kita prediksi pula, jumlah jam kerja efektif setiap harinya bagi setiap karyawan adalah 8 jam. Maka berarti, masyarakat telah di paksa untuk mengorbankan atau menyia-nyaiakan waktu yang berharga sebanyak 1998 x 8 jam kerja.

- Kalau kita prediksi sepotong kemeja pria dewasa seharga $20 maka berarti masyarakat telah kehilangan dana untuk membeli kemeja sebanyak 666 potong atau dengan kata lain 500 orang telah kehilangan kesempatan untuk memakai kemeja.

Demikianlah hasil analisa numerik yang dapat diungkapkan yang barangkali sudah cukup menunjukkan sebagai bukti bagaimana tidak efisien dan tidak efektifnya sistem, teori dan politik ekonomi konvensional dalam memanfaatkan sumber daya dan upaya memenuhi kebutuhan manusia.

C. Metode Sistem Ekonomi Islam

1. Hubungan Manusia dengan Kebutuhannya

Masalah yang harus di hadapi setiap manusia dalam hubungannya dengan kebutuhan hidup adalah menentukan batas yang tegas antara kebutuhan pokoknya dengan berbagai kebutuhan yang sifatnya semu. Sejak kelahirannya, Islam telah menawarkan jalan untuk memecahkan problematika ekonomi manusia melalui Akidah Tauhid yang di bawanya. Dimana akidah tersebut mengandung berbagai komponen dasar berupa kaidah dan prinsip hidup bagi umat manusia.

Oleh sebab itu, hampir dapat dipastikan seorang manusia yang selalu disinari oleh Nur Ilahi Rabbi, adalah manusia yang mau memegang teguh akidah Islamnya, akan mampu melaksanakan syariat Islam dengan berbagai kaidah, prinsip dan nilai nilai yang terkandung di dalamnya secara konsisten dan konsekwen, juga akan mampu membatasi berbagai kebutuhan hidupnya dalam batasan ruang dan waktu, sekaligus dapat pula menentukan cara yang disukainya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebaliknya, manusia yang tidak memilki akidah dan tauhid tidak akan mampu mengatasi problematika ekonomi hidupnya sendiri.

Dengan demikian upaya penyelesaian problematika ekonomi setiap manusia harus dimulai dari manusia itu sendiri, yang pada prakteknya dimulai dengan membatasi diri atau memberi batasan yang jelas dan tegas mengenai kebutuhan hidup, hanya yang hakiki saja. Kemudian ia juga harus membatasi tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan ruang dan waktu pada saat ini.

Oleh sebab itu setiap muslim dengan kebesaran jiwa yang dimiliki nya dipercaya mampu menyelesaikan setiap problematika ekonomi dirinya masing masing dengan membatasi berbagai kebutuhan hidupnya. Namun demikian tidak berarti Islam mengabaikan atau meremehkan begitu banyak kebutuhan hidup manusia. Lantaran setiap umat Islam boleh melakukan dan memiliki apa saja di dunia ini, kecuali yang sudah jelas dan tegas di haramkannya dengan catatan tidak berlebih lebihan.

2. Hubungan Manusia dengan sesame Manusia

Problematika ekonomi manusia tidak akan pernah dapat diatasi oleh hanya upaya produksi, betapapun besarnya. Selama produktivitas hanya ditujukan semata mata untuk memenuhi berbagai keinginan manusia yang ditopang oleh kemampuan daya beli.

Mengapa demikian? Lantaran setiap usaha peningkatan produksi, diversivikasi produksi, menuntut adanya suatu perangkat atau struktur, bahkan sistem yang mampu menjamin tersedianya kemampuan daya beli masyarakat untuk dapat memenuhi setiap kebutuhannya. Lepas dari sampai dimana sebenarnya dukungan dan potensi daya beli masyarakat itu cukup tersedia.

Hubungan manusia dengan sesamanya membutuhkan berbagai lembaga sosial yang solid dan kompak. Yang mampu menengahkan prinsip keadilan. Dan secara merata membagikan kesempatan, modal dan sumber daya kepada setiap orang tanpa pilih kasih.
Namun kenyataan sebagian penduduk dunia tidak atau belum beragama islam, maka akan timbul pertanyaan ”Pengaruh apakah yang akan timbul, jika cita-cita tersebut direlisasikan oleh islam?”.

Jawaban dari pertanyaan ini dapat di jelaskan oleh 2 pernyataan islam, yakni, Pertama, dalam memperjuangkan prinsip keadilan, Islam sama sekali tidak memasukkan keyakinan tertentu sebagai pertimbangan. Artinya islam tidak pilih kasih.

FirmanAllah:

”Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Maa idah (5) ; 8)

Kedua, Islam tidak pernah memaksa seorangpun untuk menerima akidahnya. Dengan demikian apa salahnya jika masyarakat mencoba memanfaatkan sistem dan kompilasi aturan keduniaan Islam, lepas dari agama dan keyakinan masing masing.

Jika hal ini berhasil, maka seluruh dunia akan menyepakati bahwa walaupun Islam belum diterima dengan tangan terbuka sebagai suatu sistem akidah, maka tidak ada salahnya jika Islam diterima sebagai sebagai sebuah sistem aturan duniawi.

Sehingga sekalipun target akidah islam tidak dapat dicapai maka minimal target sistem aturan duniawi Islam dapat dicapai dan disebarluaskan. Jadi untuk menghadapi problematika ekonomi diperlukan adanya berbabagai upaya untuk memberantas berbagai bentuk kezaliman semaksimal mungkin pada semua tingkatan dan kelas sosial dengan tidak mentolerir atau membiarkannya. Karena kita harus selalu menyadari dengan baik bahwa tunduk atau mentolerir terhadap suatu kezaliman menurut Islam dosanya tidaklah lebih kecil dari pada melakukannya sendiri.

3. Hubungan Manusia dengan Sumber Daya

Langkah penyelesaian yang akan kita bahas berikutnya adalah hubungan manusia dengan sumber daya, dimana penyelesaiannya diharapkan akan berlangsung mudah dan baik tanpa halangan berarti. Dengan catatan bila 2 langkah sebelumnya berhasil dilaksanakan dengan baik.

Ekonomi islam memandang pola interaksi antara manusia dengan berbagai sumber daya, diatur dengan serangkaian kaidah yang semuanya bertujuan untuk memanfaatkan dan mengolah sumber daya dengan sebaik-baiknya.

D. Kaidah pemanfaatan Sumber Daya

1. Sumber Daya adalah Nikmat dan Karunia Allah

Nikmat dan karunia Allah Swt kepada manusia tidaklah mungkin dapat dihitung. Dan diantara nikmat dari Allah itu adalah berbagai sumber daya alam yang merupakan salah satu modal kekayaan manusia untuk melahirkan, menambahkan, meningkatkan produktivitasnya.

Oleh sebab itu nikmat dan karunia haruslah disyukuri dan dihormati, di jaga dan dilestarikan. Dan yang paling utama adalah di manfaatkan dan diambil faedahnya. Manifestasi syukur adalah memanfaatkan nikmat dan karunia itu sendiri. Yang lantas disyukuri dengan pengakuan secara total kepada maha pencipta nikmat dan karunia itu.

Apabila manusia telah benar benar mengetahui dan menyadari kewajiban itu maka mereka tidak akan pernah membiarkan sepotong roti pun terbuang percuma. Apalagi barang barang konsumsi, makanan, minuman yang jumlahnya berjuta juta ton, karena rasanya mustahil jika mereka menyia nyiakannya.

Mensyukuri nikmat Allah SWT merupakan usaha pelestarian sumber daya secara terus menerus. Betapa besar perbedaan danmanfaat yang di dapat manusia jika memang sumber daya sebagai karunia Allah SWT.

2. Sumber Daya Ditundukkan bagi Manusia

Allah menciptakan manusia yang sekaligus menciptakan alam semesta, dan hubungan antara keduanya adalah berdasarkan prinsip penguasaan (al-taskhir). Dimana yang satu menguasai yang lain. Sedangkan di bebagai kamus di jelaskan bahwa al-taskhir artinya keterikatan secara total. Dengan catatan ada jaminan manfaat dan faedah di dalamnya.

Firman Allah swt

“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan”. (Q.S Lukman (31) : 20)

Jadi sebagai umat islam kita tidak percaya bahwa ada fenomena kemustahilan ini. Tidak pada diri manusianya, tidak pula pada sumber daya atau alam naturalnya.

3. Kerja keras Manusia Merupakan Realitas Alamiah

Berhasil tidaknya manusia memanfaatkan atau mendapat manfaat dari berbagai sumber daya yang ada tergantung sepenuhnya kepada usaha dan kerja keras manusia itu sendiri.
Tanggung jawab dan kerja keras merubah dunia, berada di tangan dan pundak setiap manusia. Maka hendaknya kita harus menyadari sedini mungkin, bahwa cukup tersedianya sumber daya alam dan keharusan untuk bekerja adalah 2 hal yang berlainan.

Firman Allah Swt;

”Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” (Q.S Asy Syuura (42) ; 20)

4. Pembatasan dan Kejelasan Target

Salah satu kaidah penting yang mengatur hubungan manusia dengan sumber daya adalah membatasi dan menetapkn dengan jelas target yang akan di capai.

Mengapa harus dibatasi, harus diperjelas, perlu direncanakan sedemikian rupa mengenai target yang di capai? Jawabannya adalah: karena berbagai sumber daya tersebut tidklah semata mata diciptakan untuk sekedar dapat digunakan oleh manusia.

Itu sebabnya, berbagai sumber daya yang ada harus selalu di arahkan untuk memenuhi apa yang memang secara nyata dibutuhkan oleh manusia. Dimana dalam hal ini akan terkait pula masalah hubungan antara manusia dan kebutuhannya.

5. Pemanfaatan secara baik

Salah satu prinsip dasar sistem ekonomi konvensional adalah memanfaatkan sumber daya dengan sebaik baiknya. Namun pada prakteknya, selalu ada indikasi bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam sama sekali tidak akan kita temukan. Lantaran perilaku obyektif sistem ekonomi Islam dalam praktek selalu menunjukkan kebenaran prinsip dan teori yang dianutnya.

Oleh sebab itu paling menyedihkan adalah apa yang sedang terjadi dalam dunia sekarang ini. Betapa banyak sumber daya dengan seluruh potensinya diperlakukan dengan cara yang sewenang wenang, semena mena dan jauh dari kebenaran dan keadilan.

BAB V

Kesimpulan Akhir

1. Berbagai Konflik yang Nyata

Sistem ekonomi konvensional yang berangkat dari sudut pandang bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas pada gilirannya akan menambah berbagai kesulitan yang harus dihadapi sendiri oleh manusia. Dimana bentuk problematika yang muncul antara lain adalah kelangkaan sumber daya manusia.

Mengapa sumber daya menjadi langka? Sebabnya karena manusia jor-joran dalam menggali, memakai, menggunakan dan memanfaatkan sumber daya yang ada, lantaran manusia serakah, tamak dan melampaui batas dalam mengkonsumsi sumber daya tersebut.
Oleh sebab itu hampir dipastikan bahwa manfaat dari usaha sistem ekonomi konvensional untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lebih sedikit ketimbang kemudharatan yang diterima umat manusia.

Mengapa demikian? Karena ekonomi konvensional terbiasa dan selalu berusaha memenuhi kebutuhan manusia tanpa kecuali dan tanpa batas yang menimbulkan kemubaziran.

Oleh sebab itu ekonomi konvensional bisa di vonis sebagai suatu sistem yang menyia-nyiakan potensi sumber daya, penghancur berbagai kebutuhan manusia. Padahal di bawah ekonomi islam, tidak akan pernah terjadi semacam itu. Karena setiap manusia akan menerima pedoman dan petunjuk agar dapat memiliki keseimbangan dalam usaha pemenuhan kebutuhannya.

Itulah sebabnya sistem ekonomi islam disebut sebagai sistem ekonomi pembangunan, dimana bentuk dan upaya pemenuhan kebutuhan manusia dan penggunaan sumber dayanya mempunyai karakteristik membangun dan mengembangkan. Sementara dalam ekonomi konvensional yang menonjol adalah karakteristik menghancurkan.

Kekhawatiran akan berkurang atau menyusutnya potensi dan kemampuan sumber daya dalam sistem ekonomi Islam lebih disebabkan apabila manusianya tidak disiplin atau tidak memperlakukan sumber daya sesuai kaidah, dogma, prinsip dan aturan yang ditetapkan. Sementara kerusakan, kemusnahan dan menyusutnya potensi sumber daya yang ada dalam ekonomi konvensional akibat perbuatan ekonomi konvensional itu sendiri. Sehingga kelangkaan sumber daya yang tadinya merupakan persepsi dasar mereka berubah menjadi kenyatan.

2. Kelangkaan dan Masalah Harga

Sejak awal Islam telah menjelaskan bahwa pada tingkat natural, sumber daya yang ada tidaklah dapat dikatakan lemah atau Islam sama sekali tidak percaya ada aspek kelangkaan pada sumber daya natural murni, sedangkan pada tingkat di bawah natural kondisi itu mungkin saja terjadi.

Sedangkan masalah harga yang menurut ekonomi konvensional berkaitan erat dengan kelangkaan sumber daya merupakan persoalan lain, karena pembicaraan mengenai harga memerlukan kajian khusus, terutama mengenai batasan batasannya.

Dalam setiap usaha penawaran dan permintaan apapun bentuknya, selalu terkandung unsur harga. Dengan demikian sebagaimana harga yang secara partikulatif disebabkan oleh adanya unsur kelangkaan, maka harga dengan juga akan menyebabkan timbulnya kelangkaan. Dimana proses ini berlangsung pula berbagai sistem permodalan dan pasar. Dalam berbagai kajian ilmiah seringkali disinggung mengenai adanya ketetapan nilai dan harga dalam setiap usaha pemenuhan kebutuhan.

Adalah suatu kenyataan bahwa ekonomi konvensional telah menyebabkan kita terperosok kedalam jurang kekeliruan. Lantaran tanpa alasan yang jelas, kuat dan akurat mereka berasumsi bahwa penetapan dan perkembangan harga suatu barang tergantung sepenuhnya dari ketersediaan dan kelangkaan barang tersebut.

3. Pola Baru Ilmu Ekonomi

Barangkali kesimpulan yang paling penting dari kajian ini adalah keharusan melihat kembali dan mengkritik ilmu ekonomi dengan semua isu, permasalahan dan asumsinya. Mulai dari terminologi samapai pemahamannya juga berbagai teori, hukum, struktur, strategi sampai aplikasinya.

Melihat masih banyaknya pendukung dan pengikut ilmu ekonomi konvensional, yang memiliki persepsi bahwa ”Pola Baru Ilmu Ekonomi” hanya merupakan slogan kosong yang berbau emosional.

Dimana persepsi ini sebenarnya hanya karena mereka terlalu fanatik, bahkan nyaris mengkultuskan yang menyebabkan mereka semakin jauh dari pandangan obyektif.

Teori ekonomi konvensional sangat tergantung pada konteks ruang dan waktu, maka dapat dipastikan bahwa teori tersebut tidak akan relevan lagi digunakan untuk masa sekarang. Apalagi jika digunakan dan di aplikasikan untuk masyarakat islam yang telah memiliki berbagai gagasan orsinil yang lahir dari nilai nilai dan keyakinan agama yang sempurna.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan tidak relevannya berbagai teori ekonomi konvensional yang ada. Maka idealnya harus ada satu pihak yang berani mencoba membuat terobosan untuk melahirkan pola ekonomi baru. Jika hal ini sangat mustahil dilakukan dalam waktu singkat, minimal harus ada yang berani melontarkan kritik terhadap berbagai teori ekonomi konvensional yang sudah kadaluarsa. Bahkan berani membuang teori yang merugikan namun menyertakan teori yang masih representatif dan efektif.

0 komentar:

Posting Komentar